Selasa, 16 Agustus 2016

Larangan Berlebihan dalam Berdebat dan Akibatnya


Debat merupakan kegiatan adu argumentasi antara dua pihak atau lebih, baik secara perorangan maupun kelompok, dalam mendiskusikan dan memutuskan masalah dan perbedaan. Secara formal, debat banyak dilakukan dalam institusi legislatif seperti parlemen, terutama di negara-negara yang menggunakan sistem oposisi (Wikipedia). Bahkan dalam masalah agama pun sering kita temukan perdebatan-perdebatan yang tidak pernah habis-habisnya.

Perdebatan dalam masalah agama terkadang tidak bisa dihindari dengan beberapa sebab, diantaranya karena kedangkalan ilmu dan perbedaan pendapat dalam masalah agama-agama yang tidak pernah terjadi pada zaman Rasulullah Saw. Secara garis besar perdebatan itu terbagi kepada dua macam. Yaitu,

Perdebatan Yang Tercela:
Yaitu semua perdebatan dengan kebatilan, atau berdebat tentang kebenaran setelah jelasnya, atau perdebatan dalam perkara yang tidak diketahui oleh orang-orang yang berdebat, atau perdebatan dalam mutasyabih  dari Al-Qur’an atau perdebatan tanpa niat yang baik dan yang semisalnya.

Perdebatan Yang Terpuji:
Adapun jika perdebatan itu untuk menampakkan kebenaran dan menjelaskannya, yang dilakukan oleh seorang ‘alim dengan niat yang baik dan konsisten dengan adab-adab (syar’iy) maka perdebatan seperti inilah yang dipuji. Allah Ta’ala berfirman :

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik”. (QS. An-Nahl : 125)

Dan dalam Al-Musnad dan Sunan Ibnu Majah –dan asalnya dalam Shohih Muslim- dari ‘Abdullah bin ‘Amr :

“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah keluar sedangkan mereka (sebagian shahabat-pent.) sedang berselisih tentang taqdir, maka memerahlah wajah beliau bagaikan merahnya buah rumman karena marah, maka beliau bersabda : “Apakah dengan ini kalian diperintah?! Atau untuk inikah kalian diciptakan?! Kalian membenturkan sebagian Al-Qur’an dengan sebagiannya!! Karena inilah umat-umat sebelum kalian binasa”.

Dengan perdebatan yang berlebihan dan tidak ada dasar dan hanya dituruti hawa nafsu akan menimbulkan akibat yang merugikan, diantaranya adalah :

1. Perdebatan menghilangkan cahaya ilmu.
Berkata Imam Malik rahimahullah:

“Perdebatan hanyalah akan membawa pada pertikaian dan menghilangkan cahaya ilmu dari dalam hati, serta mengeraskan hati dan melahirkan kedengkian."  (Syiar a’lamin Nubala’, 8/ 106)

2. Didalam Perdebatan ada setan.
Musim ibn Yasar rahimahullah berkata:

“Jauhilah perdebatan, karena ia adalah saat kebodohan seorang alim, di dalamnya setan menginginkan ketergelincirannya.”  (Ibnu Baththah, al-Ibanah al-Kubra; Darimi: 404)

3. Perdebatan mewariskan kemunafikan.
Ja’far ibn Muhammad rahimahullah berkata:

“Jauhilah oleh kalian pertengkaran dalam agama, karena ia menyibukkan (mengacaukan) hati dan mewariskan kemunafikan.”  (Baihaqi dalam Syu’ab: 8249)

4. Perdebatan mengeraskan hati dan menanamkan kedengkian.
Imam as-Syafi’i rahimahullah berkata:

“Perdebatan dalam agama itu mengeraskan hati dan menanam sifat kedengkian yang mendalam.”  (Thobaqat Syafiiyyah 1/7, Siyar 10/28)

5. Perdebatan menjauhkan kebahagian.
Ibnu Abdil Bar berkata:

“Tidak akan pernah bahagia orang yang suka berdebat.  Dan tidaklah engkau menjumpai seseorang yang suka berdebat kecuali di hatinya tersimpan sebuah penyakit.”  (Jami al-Bayan al-Ilmi) 

6. Perdebatan menghapuskan agama dan menumbuhkan permusuhan.
Muhammad ibn Ali ibn Husain Rahimahullah berkata:

“Pertikaian itu menghapuskan agama dan menumbuhkan permusuhan di hati-hati manusia.”  (al-Adab al-Syar’iyyah: 1/23) 

Ibnu Rajab al-Hanbali Rahimahullah berkata:

“Sungguh ramai orang telah terfitnah daripada generasi ini dengan penyakit suka berdebat atau berbantah-bantahan. Beranggapan bahwa mereka yang banyak berkomentar dan berdebat dalam masalah agama adalah lebih alim daripada mereka yang tidak banyak berkomentar dan berdebat. Ini tidak benar karena komentar-komentar generasi tabi’in lebih banyak daripada komentar para sahabat, walhal para sahabat lebih alim daripada tabi’in; dan begitu juga komentar-komentar generasi tabi’ at-tabi’in lebih banyak daripada generasi tabi’in, walhal generasi tabi’in lebih alim daripada generasi tabi’ at-tabi’in.”  (Fadlu Ilmi Salaf) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.