Minggu, 11 September 2016

Hukum Menghajikan Orang Yang Sudah Meninggal


Haji adalah rukun Islam yang kelima setelah syahadat, shalat, zakat dan puasa. haji berarti menyengaja atau menuju dan mengunjungi. Menurut etimologi bahasa Arab, kata haji mempunyai arti qashd, yakni tujuan, maksud, dan menyengaja. Menurut istilah syara', haji ialah menuju ke Baitullah dan tempat-tempat tertentu untuk melaksanakan amalan-amalan ibadah tertentu pula. Yang dimaksud dengan tempat-tempat tertentu dalam definisi diatas, selain Ka'bah dan Mas'a(tempat sa'i), juga Arafah, Muzdalifah, dan Mina.

Yang dimaksud dengan waktu tertentu ialah bulan-bulan haji yang dimulai dari Syawal sampai sepuluh hari pertama bulan Zulhijah. Adapun amal ibadah tertentu ialah thawaf, sa'i, wukuf, mazbit di Muzdalifah, melontar jumrah, mabit di Mina, dan lain-lain. Hal ini berbeda dengan ibadah umrah yang bisa dilaksanakan sewaktu-waktu.

Syarat utama melaksanakan haji itu termasuk diantaranya adalah orang yang mampu. Nah bagaimana hukumnya kalau yang dihajikan itu adalah orang yang sudah meninggal atau wafat?

Melaksanakan haji bagi untuk orang yang sudah meninggal hukumnya boleh, dengan beberapa alasan yang dijelaskan dalam hadits Rasulullah Saw,
Dalil pertama, hadits Nabi:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: أَتَى رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُ: إِنَّ أُخْتِي قَدْ نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ، وَإِنَّهَا مَاتَتْ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَوْ كَانَ عَلَيْهَا دَيْنٌ أَكُنْتَ قَاضِيَهُ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَاقْضِ اللَّهَ، فَهُوَ أَحَقُّ بِالقَضَاءِ

Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata kepada beliau: “Sesungguhnya saudara perempuanku nadzar untuk berhaji, tetapi ia meninggal dunia”. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Andaikata ia mempunyai hutang, bukankah engkau akan membayarnya?”. Ia menjawab: “Ya”. Beliau kemudian bersabda: ”Maka bayarlah hutang haji itu kepada Allah, sebab Allah lebih berhak untuk dibayar”. (Shahih Bukhari juz 8 hal. 142 no. 6699).

Dalil kedua, hadits Nabi:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : بَيْنَا أَنَا جَالِسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ أَتَتْهُ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ : إِنِّي تَصَدَّقْتُ عَلَى أُمِّي بِجَارِيَةٍ وَإِنَّهَا مَاتَتْ فَقَالَ : وَجَبَ أَجْرُكِ ، وَرَدَّهَا عَلَيْكِ الْمِيرَاثُ ، قَالَتْ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّهُ كَانَ عَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَصُومُ عَنْهَا ؟ قَالَ : صُومِي عَنْهَا ، قَالَتْ : إِنَّهَا لَمْ تَحُجَّ قَطُّ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا؟ قَالَ : حُجِّي عَنْهَا 

Dari Abdullah bin Buraidah ra, dia berkata: Ketika kami duduk di sisi Rasulullah Saw, tiba-tiba ada seorang wanita datang dan bertanya: "Sesungguhnya saya bersedekah budak untuk ibuku yang telah meninggal". Beliau bersabda: "Engkau mendapatkan pahalanya dan dikembalikan kepada engkau warisannya". Dia bertanya: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya beliau mempunyai (tanggungan) puasa sebulan, apakah saya puasakan untuknya?" Beliau menjawab: "Puasakan untuknya". Dia bertanya lagi: "Sesungguhnya beliau belum pernah haji sama sekali, apakah (boleh) saya hajikan untuknya?" Beliau menjawab: "Hajikan untuknya". (HR. Muslim).

Dalil ketiga, penjelasan Imam Ibnu Hajar ra : Ulama yang memperbolehkan menggantikan haji orang lain bersepakat, bahwa tidak diterima haji wajib kecuali untuk orang meninggal dunia atau lumpuh. Maka orang sakit tidak termasuk yang dibolehkan, karena ada harapan kesembuhannya. Tidak juga orang gila, karena ada harapan normal. Tidak juga orang yang dipenjara, karena ada harapan bebas. Tidak juga orang fakir karena mungkin dia akan menjadi kaya.

Dalil keempat, penjelasan Imam Nawawi rahimahullah: Mayoritas ulama mengatakan bahwa menghajikan orang lain itu dibolehkan untuk orang yang telah meninggal dunia dan orang lemah (sakit) yang tidak ada harapan sembuh.

Qadhi Iyadh berpendapat berbeda dengan madzhabnya (Malikiyah) dengan tidak menganggap hadits (yang membolehkan) menggantikan puasa bagi orang meninggal dan menghajikannya. Dia berkesimpulan bahwa haditsnya mudhtharib (tidak tetap). Alasan ini batil, karena haditsnya tidak mudhtharib. Cukuplah bukti kesahihan hadits ini manakala  Imam Muslim menjadikannya sebagai hujah dalam kitab shahihnya. Dan masih banyak lagi dalil lainnya yang tidak dapat kami tampilkan seluruhnya di sini.

Baca Juga :

4 Alasan Menunaikan Haji Berulang Kali Merupakan Kezaliman

Sedangkan pandangan kebanyakan para ulama pemuka madzhab (Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah) menyatakan bahwa boleh menghajikan orang yang telah meninggal, sedangkan menurut qaul mu’tamad madzhab Malikiyah menyatakan bahwa tidak boleh ada perwakilan dalam haji, baik untuk yang masih hidup ataupun telah meninggal, dengan udzur ataupun tanpa udzur.

Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang hukum menghajikan orang yang sudah meninggal. mudah-mudahan ulasan ini bermanfaat untuk kita semua. Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.