Sabtu, 28 Januari 2017

Hukum Menyentuh Al Qur’an Bagi yang Berhadats Kecil dan Besar

Berbicara tentang status Al Qur’an yang ditulis dengan tafsirnya dilihat dari segi boleh dan tidaknya disentuh oleh orang-orang yang berhadats besar maupun kecil, maka tidak terlepas dari hukum boleh dan tidaknya menyentuh tulisan Al Qur’an dan pengertian Al Qur’an yang haram disentuh.

Di kalangan ulama’ madzhab, baik Imam Syafi’i, Hanafi, Maliki maupun Hanbali, telah ada kesepakatan tentang tidak diperbolehkannya menyentuh Al Qur’an bagi orang yang berhadats. Keharaman menyentuh Al Qur’an bagi orang yang berhadats ini dianalogikan dengan haramnya membaca Al Qur’an bagi mereka yang berhadats besar. Yakni junub, haidl dan nifas. Rasulullah bersabda :

لاتقرأ الحائض والجنب شيئا من القرآن . روى من حديث ابن عمر عند الترمذى وابن ماجه والبيهقى ومن حديث جابر عند الدارقطنى
( نصب الراية الجزء الأول ص : 195 )
وحديث ابن عمر عند الترمذى وأبى داود لا يقرأ الجنب ولا الحائض شيئا من القرآن .

Artinya :“Seorang yang haid dan junub tidak membaca sedikit pun dari Al-Qur’an.”

Hadits ini, walaupun dinilai lemah oleh Imam Nawawi di dalam kitab Al Majmu’, namun masih banyak hadits lain yang memperkuat isi hukum yang terkandung di dalam hadits di atas. Seperti hadits :

كان رسول الله يقرئنا القرآن على كل حال ما لم يكن جنبا . رواه الترمذى وقال حديث حسن صحيح ورواه أيضا باقى السنن الأربعة ( سبل السلام الجزء الأول ص : 88 )

Memang tidak ada dalil, baik dari Al Qur’an maupun hadits yang secara tegas mengharamkan menyentuh Al Qur’an bagi orang yang berhadats kecil. Akan tetapi mayoritas fuqoha’ selain Ibnu Abbas dan kaum Zubaidiyyah, mengharamkannya. Sebagaimana keterangan yang dikutip kitab Fiqhul Islami juz 1 halaman 299.

Menurut Ibnu Sholah yang menukil dari ulama Syafi’iyyah, ada wajah ( pendapat ) yang menganggap haramnya menyentuh Al Qur’an bagi orang yang berhadats kecil hanya sebatas pada tulisan Al Qur’annya saja, tidak pada pinggir tulisan Al Qur’an atau sela-sela tulisannya. Pendapat ini, sebagaimana yang ada di dalam kitab Al Qolyubi juz 1 halaman 35, juga disampaikan oleh Imam Asnawi dan sebagian golongan Syafi’iyyah. Ketidak sepakatan ulama dalam permasalahan di atas, dilatar belakangi karena perbedaan pemahaman dan penafsiran ayat Al Qur’an yang berbunyi :

إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ .فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ .لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ .تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Artinya : "Sesungguhnya Al Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara ( Lauhul Mahfudz ) tidak menyentuhnya kecuali orang orang yang disucikan. Diturunkan dari Tuhan Semesta Alam." (QS. Al-Waqi'ah : 77-80)

Apakah yang dimaksud dengan Al Qur’an yang ada pada dlomir lafadz لَا يَمَسُّهُ itu Al Qur’an yang ada di dunia ataukah yang di lauhil mahfudz ? Dan siapakah yang dimaksud dengan الْمُطَهَّرُونَ , manusia ataukah malaikat ? Dan juga apakah لاyang terdapat pada lafadz لَا يَمَسُّهُ itu menunjukkan arti nahi ( larangan ) yang sehingga memberikan pengertian : Janganlah menyentuh Al Qur’an kecuali الْمُطَهَّرُونَ ? Ataukah لَا tersebut menunjukkan arti nafi ( meniadakan ) yang sehingga memberikan pengertian : Tiada yang menyentuh Al Qur’an kecuali الْمُطَهَّرُونَ ?

Dalam tafsir Al Baidlowi juz 4 halaman 110, ditegaskan :

( قوله فى كتاب مكنون ) مصون وهو اللوح المحفوظ ( قوله لا يمسه إلا المطهرون ) لا يطلع على اللوح إلا المطهرون من الكدرات الجسمانية وهم الملائكة أو لايمس القرآن إلا المطهرون من الأحداث فيكون نفيا بمعنى النهى أو لايطلبه إلا المطهرون من الكفر وقرئ المتطهرون والمطهرون والمطهرون من أطهره بمعنى طهره والمطهرون أى أنفسهم أو غيرهم بالاستغفار لهم والإلهام

الْمُطَهَّرُونَ dalam tafsir di atas ditafsiri dengan para malikat, dengan berpedoman lafadz لا يمسه adalah jumlah yang menjadi sifat dari lafadz  كِتَابٍ مَكْنُونٍ  Dengan demikian dlomir yang terdapat pada لَا يَمَسُّهُkembali pada kitab yang ada di lauhil mahfudz. Keterangan ini diambil dari tafsir Ayatul Ahkam. Penafsiran ini juga didasarkan pada ayat :

فِي صُحُفٍ مُكَرَّمَةٍ .مَرْفُوعَةٍ مُطَهَّرَةٍ .بِأَيْدِي سَفَرَةٍ

Artinya : "Di dalam kitab kitab yang dimuliakan yang ditinggikan lagi disucikan di tangan para penulis ( utusan )." (QS. Abasa : 13-15)

Bila kita berpijak pada penafsiran semacam ini, maka ayat لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ tidak bisa dijadikan sebagai hujjah atas haramnya menyentuh mushaf bagi orang yang berhadats. Namun Ibnu Taimiyah dalam menyikapi penafsiran semacam itu justru mengatakan jika Al Qur’an yang ada di lauhil mahfudz saja tidak disentuh kecuali oleh makhluk Allah yang suci ( malaikat ), maka selayaknya Al Qur’an yang ada di bumi tidak boleh disentuh kecuali oleh orang-orang yang suci dari hadats.

الْمُطَهَّرُونَ dalam tafsir di atas, menurut pendapat yang kedua, ditafsiri dengan orang yang tidak berhadats, baik kecil maupun besar. Dengan pertimbangan :

1. Lafadz لَا يَمَسُّهُ menjadi sifat dari لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ . Dan Al Qur’an diartikan dengan Al Qur’an yang telah diturunkan di bumi. Oleh karena itu dlomir yang ada pada لَا يَمَسُّهُ kembali pada lafadz لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ .

Terbukti ayat tersebut segaris dengan :

تنزيل من رب العالمين
2. Ada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Ashabussunan yang berbunyi :
أن النبى كتب إلى أهل اليمن وجاء فيه لا يمس القرآن إلاطاهر

Dalam hadits di atas Rosulullah berkirim surat kepad Ahlul Yaman yang di antara isi surat tersebut ada peringatan ”Jangan sampai menyentuh Al Qur’an, kecuali orang yang suci dari hadats.”

3. لَا يَمَسُّهُ tetap menjadi sifat dari  كِتَابٍ مَكْنُونٍ . Namun lafadz مَكْنُونٍ ditafsiri dengan المحفوظ فى الصدور (terjaga di dalam hati). Yakni Al Qur’an terlindung dari perubahan i’rob dan huruf. Dan ini sesuai dengan firman Allah :

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Artinya : "Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar benar memeliharanya." (QS. Al-Hijir :9)

Pengertian Al Qur’an yang haram disentuh orang hadats

Imam Fahrur Rozi berpendapat bahwa lafads القرآن yang ada di dalam firman Alloh إنه لقرآن كريم adalah masdar yang bermakna isim maf’ul, yakni المقروء ( yang dibaca ). Ini senada dengan firman Alloh yang berbunyi

هذا خلق الله أى مخلوقه

Melihat pengertian ini, maka yang dimaksud dengan Al Qur’an yang haram disentuh orang hadats adalah tulisan Al Qur’an yang memang untuk dibaca. Karenanya ulama’ Hanafiyah berpendapat bahwa menyentuh tulisan Al Qur’an, walaupun satu ayat, yang ada pada uang dirham atau lainnya bagi orang yang hadats, hukumnya haram. (Al Fiqhul Islami juz 1 halaman 296).

Namun menurut ulama’ Syafi’iyah, tidaklah semua tulisan Al Qur’an haram disentuh oleh orang yang hadats. Tetapi hanya sebatas pada tulisan Al Qur’an yang ditulis dengan tujuan dirosah ( dibaca untuk tujuan ibadah ). Jika Al Qur’an ditulis tidak untuk tujuan yang demikian, semisal untuk tabarruk ( agar mendapat berkah ), azimat atau untuk tujuan belajar mengajar, maka tulisan Al Qur’an semacam ini tidak haram disentuh orang yang hadats. Terbukti Rasulullah pernah berkirim surat kepada raja Qoishor yang di dalam isi surat tersebut terdapat tulisan Al Qur’annya. (Al Fiqhul Islami juz 1 halaman 298).

Dan tidak mungkin Rasulullah memerintahkan raja Qoishor untuk berwudlu telebih dahulu sebelum membacanya.

Dari sini semakin jelaslah bahwa meski Al Qur’an ditulis untuk dibaca, namun apabila tidak untuk tujuan dirosah, maka tidak haram disentuh orang yang hadats. Oleh karena itu ulama’ ulama’ Syafi’iyah mendefinisikan mushaf dengan :

كل ما كتب عليه القرآن لدراسته ولو عمودا أم لوحا
Artinya : "Segala sesuatu yang ditulisi Al Qur’an untuk tujuan dirosah, sekalipun berupa pilar maupun papan."

Definisi ini senada dengan definisi yang disampaikan ushuliyyin sebagaimana yang tertulis di dalam kitab Jam’ul Jawami’ juz 1 halaman 223 yang berbunyi :

والمعنى به أى القرآن هنا أى فى أصول الفقه اللفظ المنزل على محمد صلى الله عليه وسلم للإعجاز بسورة منه المتعبد بتلاوته

Artinya : "Yang dikehendaki dengan Al Qur’an di dalam ushul fiqh adalah lafadz yang diturunkan Alloh kepada Nabi Muhammad S.a.w. untuk melemahkan penentang ajaran Agama Islam dan untuk digunakan ibadah dengan membacanya."

Selanjutnya bisa disimpulkan bahwa membaca Al Qur’an walaupun tidak mengerti artinya, tetap merupakan suatu ibadah.

Berbicara mengenai ayat ayat Al Qur’an yang ditulis untuk tujuan tabarruk, membuat azimat atau lainnya yang tidak ada tujuan dirosah, walaupun secara umum tulisan itu terkesan bisa disebut Al Qur’an, sebenarnya ada dua qoul. Pertama, melihat tujuan penulis, berarti tulisan tersebut tidak bisa disebut mushaf. Ini adalah pendapat mayoritas ulama’ Syafi’iyah. Kedua, menurut Imam Romli tidak melihat pada tujuan penulis. Tetapi melihat pada penilaian umum. Sebab ada hadits :

وما رأى المسلمون حسنا فهو عند الله حسن .

Al Qur’an yang Di Tulis dengan Tafsir

Jika penulisan Al Qur’an dengan tujuan dirosah (dibaca) atau tidak dengan tujuan dirosah namun secara umum bisa disebut mushaf (dengan berpijak pada pendapatnya Imam Romli ) dan juga disertai dengan penulisan tafsirnya yang bertujuan untuk mengetahui arti dari Al Qur’an tersebut, maka hukumnya mengikuti pada yang lebih banyak antara Al Qur’an dan tafsirnya. Sebab di dalam qo’idah ditegaskan :

القليل كالمعدوم .
Apabila tulisan Al Qur’an lebih banyak, maka dihukumi sebagaimana mushaf. Berarti tetap haram disentuh bagi orang hadats. Sebab ada hadits :

ما اجتمع الحلال والحرام إلا غلب الحرام الحلال .
Walaupun menurut Assububki hadits ini diriwayatkan Imam Al Ja’fi ( seorang rowi yang lemah ) dari Imam Sya’bi dari Ibnu Mas’ud, namun para ulama tetap cenderung untuk mengharamkannya dengan dasar hati-hati ( ihthiyath ).

Namun jika kita melihat pendapat Assubuki, maka keharaman tersebut hanya terbatas pada tulisan Al Qur’an saja. Sebab ada hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah, Imam Daru Quthni dari shahabat Ibnu Umar :

الحرام لا يحرم الحلال .
Akan tetapi walau demikian, menyentuh tulisan tafsir tersebut adalah makruh. Dengan pertimbangan :

1. Hadits.

دع مايريبك إلى ما لا يريبك
Mengingat dalam masalah ini ( menyentuh tafsir yang lebih sedikit dari tulisan Al Qur’an ) ada sebagian ulama yang mengharamkan dan ada yang memperbolehkan, maka kejadian ini mengakibatkan terjadinya keraguan ( syak ). Dan sesuai dengan hadits di atas bahwa melakukan perkara yang masih diragukan, hukumnya makruh.

2. Menghindar dari khilaf ulama, hukumnya sunnat. Sedangkan meninggalkan sunnat hukumnya makruh.

Tulisan Al Qur’an yang Di Ulang

Setelah kita mengetahui bahwa yang dimaksud dengan mushaf yang haram disentuh orang hadats adalah tulisan Al Qur’an dengan tujuan dirosah, maka tulisan Al Qur’an yang diulangi tersebut hanya tinggal melihat pada tujuan penulis atau tujuan orang yang menyuruhnya, bila ia disuruh menulis dengan diberi imbalan. Jika ditulis dengan tujuan dirosah, maka akan mempengaruhi jumlah banyaknya huruf Al Qur’an. Dan jika ditulis untuk mempelajari tafsirnya, maka akan mempengaruhi jumlah banyaknya tafsir. Demikian ini bila kita mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa pengertian mushaf itu hanya dibatasi dengan tujuan dirosah.

Apabila kita mengikuti pendapat Ar Romli, yang menilai tulisan Al Qur’an bisa disebut mushaf atau tidak itu tergantung penilaian umum, maka tujuan penulis atau yang menyuruhnya tidak diperhitungkan sama sekali. Yang penting bila tulisan Al Qur’an yang diulang tersebut menurut umum bisa disebut mushaf, maka tulisan itu akan mempengaruhi pada banyaknya jumlah huruf Al Qur’an. Dan dari sini kita dapat memahami bahwa besar kecilnya tulisan sama sekali tidak ada bedanya. Kecuali kalau tulisan tersebut sangat kecil sekali sehingga menurut umumnya manusia tidak bisa dibaca, maka tulisan tersebut tidak dianggap.

Apakah terjemah termasuk tafsir?

Tafsir secara harfiyyah adalah masdar dari :

فسر - يفسر - تفسيرا

yang artinya menjelaskan. Secara terminologi, tafsir adalah menjelaskan maksud kalamullah yang meliputi ta’wil ( men-jelaskan lafadz yang tidak sama dengan dzohirnya ) atau menjelaskan sebab-sebab diturunkannya sebuah ayat.

Dengan demikian, jika yang dimaksud terjemah itu adalah menjelaskan maksud dari kalamullah, maka terjemahan tersebut bisa dikatakan tafsir. Jika yang dimaksud adalah hanya sekedar mengalihkan bahasa, sehingga nantinya bisa disebut Al Qur’an berbahasa Indonesia atau Al Qur’an berbahasa Inggris, maka tidak bisa dianggap tafsir. Bahkan dihukumi haram karena bisa menghilangkan sifat i’jaz ( melemahkan musuh ) dari Al Qur’an. Allah berfirman :

وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ ۖ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ

Artinya : "Dan jika kamu ( tetap ) dalam keraguan tentang Al Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat ( saja ) yang semisal Al Qur’an itu dan ajaklah penolong penolongmu selain Allah, jika kamu memang orang orang yang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuat ( nya ) dan pasti kamu tidak dapat membuat ( nya ), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang kafir."

Diasuh oleh : Al-Ustadz Kaji Baiq (Sabrata

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.