Selasa, 06 Juni 2017

Kisah Seorang Murid yang Menjadi Guru atas Gurunya

Guru merupakan suatu profesi yang selalu berkaitan dengan pendidikan anak-anak bangsa. Ia harus memiliki banyak pengetahuan dan keterampilan serta menguasai bahan ajar yang terdapat dalam kurikulum untuk diajarkan kepada siswa.

Sebagai seorang pendidik guru merupakan panutan untuk ditiru dan diteladani oleh siswa baik dari sikap, perilaku, budi pekerti, berakhlak mulia, tekun dan mau belajar. Berharap agar membentuk kepribadian siswa di masa yang akan datang.

Guru memiliki tugas yang beragam yang berimplementasi dalam bentuk pengabdian. Tugas tersebut meliputi bidang profesi, bidang kemanusiaan dan bidang kemasyarakatan. Tugas guru sebagai profesi meliputi mendidik, mengajar dan melatih.

Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup dan kehidupan. Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan pada siswa.

Mungkin banyak diantara kita meremehkan orang-orang yang lebih muda dari kita, orang-orang yang tidak lebih kaya dari kita, orang-orang yang tidak lebih pintar dari kita, dan orang-orang lainnya yang tidak lebih hebat dari kita. Apa yang mereka katakan akan kita anggap sebagai komentar tidak berarti, bagai angin yang berlalu, tidak kita dengarkan, tidak kita hiraukan.

Padahal, bisa saja petunjuk serta hidayah-Nya disampaikan melalui mereka. Ilmu pengetahuan-Nya diajarkan melalui mereka.

Alkisah Ismail bin Al-Husain Al-Ghanawi, pakar nasob (silsilah keturunan), menuturkan bahwa gurunya, Fahrudin Ar-Razi, pergi ke Maru. la adalah ulama berkepribadian karismatik dan penuh wibawa sehingga di hadapannya tidak ada seorang pun yang berani berkata keras.

Suatu ketika Ismail bin Al-Husain Al-Ghanawi ragu-ragu dan tidak lancar membaca di hadapannya. Kemudian sang guru memberi tugas kepadanya, "Aku ingin engkau menulis untukku satu kitab tentang silsilah para pelajar untuk aku periksa dan aku lafalkan!"

Ketika kitab itu sudah selesai disusun, Ismail menyerahkan tugasnya kepada sang guru. Gurunya pun menerima tugas muridnya tersebut. Setelah menerima kitab tersebut, gurunya turun dari bangku dan duduk di atas tikar bersamanya. Namun, sang guru memerintahkan Ismail untuk duduk di atas bangkunya. Tentu saja hal ini membuat Ismail salah tingkah.

Dengan halus, Ismail bin Al-Husain Al-Ghanawi menolak perintah gurunya karena segan. Akan tetapi, gurunya tetap menyuruh sambil berkata, "Duduklah!"

Ismail bin Al-Husain Al-Ghanawi segera melakukan perintah gurunya karena hormat, segan dan takut apabila tidak melaksanakan perintah gurunya tersebut. Ismail bin Al-Husain Al-Ghanawi pun duduk di atas bangku tempat gurunya duduk, sedangkan gurunya duduk diatas tikar sambil membaca kitab yang  susun muridnya. Sekali-sekali bertanya kepadanya.

Setelah selesai membaca satu bab, Ar-Razi sang guru berkata kepada muridnya, "Sekarang duduklah di manapun kamu suka. Ini adalah suatu ilmu dan engkau adalah guruku. Aku mengambil manfaat dan belajar darimu. Oleh karena itu, sudah menjadi adab sopan santun jika murid (dalam hal ini Ar-Razi) duduk lebih rendah daripada gurunya (dalam hal ini Ismail)."

Demikianlah sahabat bacaan madani kisah seorang guru yang belajar dari siswanya. Ini menunjukkan bahwa manusia itu tidak ada yang sempurna. Guru juga tidak malu atas kekurangannya sendiri. Tidak semua guru lebih hebat dari muridnya, begitu juga sebaliknya. Yang perlu kita tahu adalah bahwa guru itu tugasnya termasuk mealtih dan mengembangkan keterampilan muridnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.