Minggu, 04 Februari 2018

Pengertian Mu’amalah dan Macam-Macam Mu’amalah

A. Pengertian Mu’amalah.
Mu’amalah dalam kamus Bahasa Indonesia artinya hal-hal yang termasuk urusan kemasyarakatan (pergaulan, perdata, dsb). Sementara dalam fiqh Islam berarti tukar menukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat dengan cara yang ditempuhnya, seperti jual-beli, sewa-menyewa, upah-mengupah, pinjam-meminjam, urusan bercocok tanam, berserikat, dan usaha lainnya.

Dalam melakukan transaksi ekonomi, seperti jual-beli, sewa-menyewa, utang-piutang, dan pinjam-meminjam, Islam melarang beberapa hal di antaranya seperti berikut.

1. Tidak boleh mempergunakan cara-cara yang batil.
2. Tidak boleh melakukan kegiatan riba.
3. Tidak boleh dengan cara-cara zalim (aniaya).
4. Tidak boleh mempermainkan takaran, timbangan, kualitas, dan kehalalan.
5. Tidak boleh dengan cara-cara spekulasi/berjudi.
6. Tidak boleh melakukan transaksi jual-beli barang haram.

B. Macam-Macam Mu’amalah.

Sebagaimana telah dijelaskan di atas tentang macam-macam mu’amalah, di sini akan dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut.

1. Jual-Beli.
a. Pengertian Jual-Beli.
Jual-beli menurut syariat agama ialah kesepakatan tukar-menukar benda untuk memiliki benda tersebut selamanya. Melakukan jual-beli dibenarkan, sesuai dengan firman Allah Swt. berikut ini:

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

Artinya:”... dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...” (QS. al-Baqarah : 275).

Apabila jual-beli itu menyangkut suatu barang yang sangat besar nilainya, dan agar tidak terjadi kekurangan di belakang hari, al-Qur’an menyarankan agar dicatat, dan ada saksi, lihatlah penjelasan ini pada Q.S. al-Baqarah/2: 282.

b. Syarat-Syarat Jual-Beli.
Syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam Islam tentang jual-beli adalah sebagai berikut.

1) Penjual dan pembelinya haruslah:

a) ballig,
b) berakal sehat,
c) atas kehendak sendiri.

2) Uang dan barangnya haruslah: 
a) halal dan suci. Haram menjual arak dan bangkai, begitu juga babi dan berhala, termasuk lemak bangkai tersebut;

b) bermanfaat. Membeli barang-barang yang tidak bermanfaat sama dengan menyia-nyiakan harta atau pemboros.

إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ ۖ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا

Artinya: “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. al-Isra’ : 27)

c) Keadaan barang dapat diserahterimakan. Tidak sah menjual barang yang tidak dapat diserahterimakan. Contohnya, menjual ikan dalam laut atau barang yang sedang dijadikan jaminan sebab semua itu mengandung tipu daya.

d) Keadaan barang diketahui oleh penjual dan pembeli. 

e) Milik sendiri, sabda Rasulullah Saw., “Tak sah jual-beli melainkan atas barang yang dimiliki.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).

3) Ijab Qobul.
Seperti pernyataan penjual, “Saya jual barang ini dengan harga sekian.” Pembeli menjawab, “Baiklah saya beli.” Dengan demikian, berarti jual-beli itu berlangsung suka sama suka. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya jual-beli itu hanya sah jika suka sama suka.” (HR. Ibnu Hibban)

2. Khiyar.
1) Pengertian Khiyar.
Khiyar adalah bebas memutuskan antara meneruskan jual-beli atau membatalkannya. Islam memperbolehkan melakukan khiyar karena jual-beli haruslah berdasarkan suka sama suka, tanpa ada unsur paksaan sedikit pun. Penjual berhak mempertahankan harga barang dagangannya, sebaliknya pembeli berhak menawar atas dasar kualitas barang yang diyakininya. Rasulullah Saw. bersabda,

“Penjual dan pembeli tetap dalam khiyar selama keduanya belum berpisah. Apabila keduanya berlaku benar dan suka menerangkan keadaan (barang)nya, maka jual-belinya akan memberkahi keduanya. Apabila keduanya menyembunyikan keadaan sesungguhnya serta berlaku dusta, maka dihapus keberkahan jual-belinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

2) Macam-Macam Khiyar.
a) Khiyar Majelis, adalah selama penjual dan pembeli masih berada di tempat berlangsungnya transaksi/tawar-menawar, keduanya berhak memutuskan meneruskan atau membatalkan jual-beli. Rasulullah saw. bersabda,

“Dua orang yang berjual-beli, boleh memilih akan meneruskan atau tidak selama keduanya belum berpisah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

b) Khiyar Syarat, adalah khiyar yang dijadikan syarat dalam jual-beli. Misalnya penjual mengatakan, “Saya jual barang ini dengan harga sekian dengan syarat khiyar tiga hari.” Maksudnya penjual memberi batas waktu kepada pembeli untuk memutuskan jadi tidaknya pembelian tersebut dalam waktu tiga hari. Apabila pembeli mengiyakan, status barang tersebut sementara waktu (dalam masa khiyar) tidak ada pemiliknya. Artinya, si penjual tidak berhak menawarkan kepada orang lain lagi. Namun, jika akhirnya pembeli memutuskan tidak jadi, barang tersebut menjadi hak penjual kembali. Rasulullah saw. bersabda kepada seorang lelaki,

“Engkau boleh khiyar pada segala barang yang engkau beli selama tiga hari tiga malam.” (HR. Baihaqi dan Ibnu Majah)

c) Khiyar Aib (cacat), adalah pembeli boleh mengembalikan barang yang dibelinya jika terdapat cacat yang dapat mengurangi kualitas atau nilai barang tersebut, namun hendaknya dilakukan sesegera mungkin.

3. Riba.
1) Pengertian Riba.
Riba adalah bunga uang atau nilai lebih atas penukaran barang. Hal ini sering terjadi dalam pertukaran bahan makanan, perak, emas, dan pinjam-meminjam. Riba, apa pun bentuknya, dalam syariat Islam hukumnya haram. Sanksi hukumnya juga sangat berat. Diterangkan dalam hadits yang diriwayatkan bahwa,

“Rasulullah mengutuk orang yang mengambil riba, orang yang mewakilkan, orang yang mencatat, dan orang yang menyaksikannya.” (HR. Muslim).

Dengan demikian, semua orang yang terlibat dalam riba sekalipun hanya sebagai saksi, terkena dosanya juga.

Guna menghindari riba, apabila mengadakan jual-beli barang sejenis seperti emas dengan emas atau perak dengan perak ditetapkan syarat:

a) sama timbangan ukurannya; atau
b) dilakukan serah terima saat itu juga,
c) secara tunai.

Apabila tidak sama jenisnya, seperti emas dan perak boleh berbeda takarannya, namun tetap harus secara tunai dan diserahterimakan saat itu juga. Kecuali barang yang berlainan jenis dengan perbedaan seperti perak dan beras, dapat berlaku ketentuan jual-beli sebagaimana barang-barang yang lain.

2) Macam-Macam Riba.
a) Riba Faḍli, adalah pertukaran barang sejenis yang tidak sama timbangannya. Misalnya, cincin emas 22 karat seberat 10 gram ditukar dengan emas 22 karat namun seberat 11 gram. Kelebihannya itulah yang termasuk riba.

b) Riba Qorḍi, adalah pinjammeminjam dengan syarat harus memberi kelebihan saat mengembalikannya. Misal si A bersedia meminjami si B uang sebesar Rp100.000,00 asal si B bersedia mengembalikannya sebesar Rp115.000,00. Bunga pinjaman itulah yang disebut riba.

c) Riba Yadi, adalah akad jual-beli barang sejenis dan sama timbangannya, namun penjual dan pembeli berpisah sebelum melakukan serah terima. Seperti penjualan kacang, ketela yang masih di dalam tanah.

d) Riba Nasi’ah, adalah akad jual-beli dengan penyerahan barang beberapa waktu kemudian. Misalnya, membeli buah-buahan yang masih kecil-kecil di pohonnya, kemudian diserahkan setelah besar-besar atau setelah layak dipetik. Atau, membeli padi di musim kemarau, tetapi diserahkan setelah panen.

4. Utang-Piutang.
a. Pengertian Utang-piutang.
Utang-piutang adalah menyerahkan harta dan benda kepada seseorang dengan catatan akan dikembalikan pada waktu kemudian. Tentu saja dengan tidak mengubah keadaannya. Misalnya utang Rp100.000,00 di kemudian hari harus melunasinya Rp100.000,00. Memberi utang kepada seseorang berarti menolongnya dan sangat dianjurkan oleh agama.

b. Rukun Utang-piutang.
Rukun utang-piutang ada tiga, yaitu:

1) yang berpiutang dan yang berutang
2) ada harta atau barang.
3) Lafadz kesepakatan. Misal: “Saya utangkan ini kepadamu.” Yang berutang menjawab, “Ya, saya utang dulu, beberapa hari lagi (sebutkan dengan jelas) atau jika sudah punya akan saya lunasi.”

Untuk menghindari keributan di belakang hari, Allah Swt. menyarankan agar kita mencatat dengan baik utang-piutang yang kita lakukan. Jika orang yang berutang tidak dapat melunasi tepat pada waktunya karena kesulitan, Allah Swt. menganjurkan memberinya kelonggaran.

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Artinya: “Dan jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui..” (QS. al-Baqarah : 280)

Apabila orang membayar utangnya dengan memberikan kelebihan atas kemauannya sendiri tanpa perjanjian sebelumnya, kelebihan tersebut halal bagi yang berpiutang, dan merupakan suatu kebaikan bagi yang berutang. Rasulullah saw. bersabda:

“Sesungguhnya sebaik-baik kamu, ialah yang sebaik-baiknya ketika membayar utang.” (sepakat ahli hadis). Abu Hurairah ra. berkata, ”Rasulullah saw. telah berutang hewan, kemudian beliau bayar dengan hewan yang lebih besar dari hewan yang beliau utang itu, dan Rasulullah saw. bersabda,

”Orang yang paling baik di antara kamu ialah orang yang dapat membayar utangnya dengan yang lebih baik.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).

5. Sewa-Menyewa.
a. Pengertian Sewa-menyewa.
Sewa-menyewa dalam fiqh Islam disebut ijarah, artinya imbalan yang harus diterima oleh seseorang atas jasa yang diberikannya. Jasa di sini berupa penyediaan tenaga dan pikiran, tempat tinggal, atau hewan.

Dasar hukum ijarah dalam firman Allah Swt.:

وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ

Artinya: “...dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut..” (QS. al-Baqarah : 233)

فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ

Artinya: “...kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka...”(QS. aṭ-Ṭalaq : 6)

b. Syarat dan Rukun Sewa-menyewa.

1) Yang menyewakan dan yang menyewa haruslah telah ballig dan berakal sehat.
2) Sewa-menyewa dilangsungkan atas kemauan masing-masing, bukan karena dipaksa.
3) Barang tersebut menjadi hak sepenuhnya orang yang menyewakan, atau walinya.
4) Ditentukan barangnya serta keadaan dan sifat-sifatnya.
5) Manfaat yang akan diambil dari barang tersebut harus diketahui secara jelas oleh kedua belah pihak. Misalnya, ada orang akan menyewa sebuah rumah. Si penyewa harus menerangkan secara jelas kepada pihak yang menyewakan, apakah rumah tersebut mau ditempati atau dijadikan gudang.

Dengan demikian, si pemilik rumah akan mempertimbangkan boleh atau tidak disewa. Sebab risiko kerusakan rumah antara dipakai sebagai tempat tinggal berbeda dengan risiko dipakai sebagai gudang. Demikian pula jika barang yang disewakan itu mobil, harus dijelaskan dipergunakan untuk apa saja.
6) Berapa lama memanfaatkan barang tersebut harus disebutkan dengan jelas.
7) Harga sewa dan cara pembayarannya juga harus ditentukan dengan jelas serta disepakati bersama.

Dalam hal sewa-menyewa atau kontrak tenaga kerja, haruslah diketahui secara jelas dan disepakati bersama sebelumnya hal-hal berikut.

1) Jenis pekerjaan dan jam kerjanya.
2) Berapa lama masa kerja.
3) Berapa gaji dan bagaimana sistem pembayarannya: harian, bulanan, mingguan ataukah borongan?
4) Tunjangan-tunjangan seperti transpor, kesehatan, dan lain-lain, kalau ada.

6. Syirkah.
a. Pengertian Syirkah.
Secara bahasa, kata syirkah (perseroan) berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sehingga tidak dapat lagi dibedakan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Menurut istilah, syirkah adalah suatu akad yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan.

b. Rukun dan Syarat Syirkah.
Adapun rukun syirkah secara garis besar ada tiga, yaitu seperti berikut.

1) Dua belah pihak yang berakad (‘aqidani). Syarat orang yang melakukan akad adalah harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasarruf (pengelolaan harta).

2) Objek akad yang disebut juga ma’qud ‘alaihi mencakup pekerjaan atau modal. Adapun syarat pekerjaan atau benda yang dikelola dalam syirkah harus halal dan diperbolehkan dalam agama dan pengelolaannya dapat diwakilkan.

3) Akad atau yang disebut juga dengan istilah sigat. Adapun syarat sah akad harus berupa tasarruf, yaitu adanya aktivitas pengelolaan.

c. Macam-Macam Syirkah.
Syirkah dibagi menjadi beberapa macam, yaitu syirkah `inan, syirkah ‘abdan, syirkah wujuh, dan syirkah mufawaḍah.

1) Syirkah ‘Inan.
Syirkah ‘inan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing- masing memberi kontribusi kerja (amal) dan modal (mal). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil sunah dan ijma’ sahabat.

2) Syirkah ‘Abdan.
Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan kontribusi kerja (amal), tanpa kontribusi modal (mal). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti penulis naskah) ataupun kerja fisik (seperti tukang batu). Syirkah ini juga disebut syirkah ‘amal.

3) Syirkah Wujuh.
Syirkah wujuh adalah kerja sama karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujuh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujuh adalah syirkah antara dua pihak yang sama-sama memberikan kontribusi kerja (amal) dengan pihak ketiga yang memberikan konstribusi modal (mal).

4) Syirkah Mufawaḍah.
Syirkah mufawaḍah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas. Syirkah mufawaḍah dalam pengertian ini boleh dipraktikkan. Sebab setiap jenis syirkah yang sah berarti boleh digabungkan menjadi satu. Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkahnya, yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal jika berupa syirkah ‘inan, atau ditanggung pemodal saja jika berupa mufawaḍah, atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki jika berupa syirkah wujuh.

7. Muḍarabah.
a. Pengertian Mudarabah.
Muḍarabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak, di mana pihak pertama menyediakan semua modal (sahibul mal), pihak lainnya menjadi pengelola atau pengusaha (muḍarrib). Keuntungan usaha secara muḍarabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, namun apabila mengalami kerugian, ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

Kontrak bagi hasil disepakati di depan sehingga bila terjadi keuntungan, pembagiannya akan mengikuti kontrak bagi hasil tersebut. Misalkan, kontrak bagi hasilnya adalah 60:40, di mana pengelola mendapatkan 60% dari keuntungan, pemilik modal mendapat 40% dari keuntungan.

b. Macam-macam Mudarabah.
Muḍarabah sendiri dibagi menjadi dua, yaitu muḍarabah muṭlaqah dan muḍarabah muqayyadah. Muḍarabah muṭlaqah merupakan bentuk kerja sama antara pemilik modal dan pengelola yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis.

Sedangkan muḍarabah muqayyadah adalah kebalikan dari muḍarabah muṭlaqah, yakni usaha yang akan dijalankan dengan dibatasi oleh jenis usaha, waktu, atau tempat usaha.

8. Musaqah, Muzara’ah, dan Mukhabarah.
a) Musaqah.
Musaqah adalah kerja sama antara pemilik kebun dan petani di mana sang pemilik kebun menyerahkan kepada petani agar dipelihara dan hasil panennya nanti akan dibagi dua menurut persentase yang ditentukan pada waktu akad.

b) Muzara’ah dan Mukhabarah.
Muzara’ah adalah kerja sama dalam bidang pertanian antara pemilik lahan dan petani penggarap di mana benih tanamannya berasal dari petani. Sedangkan mukhabarah ialah kerja sama dalam bidang pertanian antara pemilik lahan dan petani penggarap di mana benih tanamannya berasal dari pemilik lahan.

Muzara’ah memang sering kali diidentikkan dengan mukhabarah. Namun demikian, keduanya sebenarnya memiliki sedikit perbedaan. Apabila muzara’ah, benihnya berasal dari petani penggarap, sedangkan mukhabarah benihnya berasal dari pemilik lahan.

Muzara’ah dan mukhabarah merupakan bentuk kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap yang sudah dikenal sejak masa Rasulullah Saw. Dalam hal ini, pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan pembagian persentase tertentu dari hasil panen. Di Indonesia, khususnya di kawasan pedesaan, kedua model penggarapan tanah itu sama-sama dipraktikkan oleh masyarakat petani. Landasan syariahnya terdapat dalam hadis dan ijma’ ulama.

Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang pengertian mu’amalah dan macam-macam mu’amalah. Sumber buku Siswa PAI Kelas XI SMK Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2014. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.