Senin, 10 Oktober 2016

Macam-macam Talfiq


Talfiq ialah mengikuti pendapat satu imam dalam satu-satu masalah, kemudian bertaqlid kepada imam lain dalam masalah lain. Contoh: mengambil wudhu mengikuti Imam Hanafi dan shalat mengikuti Imam Syafi’i.

Kebanyakan ulama’ membagi talfiq menjadi dua, yaitu :

1. Mengambil pendapat yang paling ringan diantara madzhab-madzhab dalam beberapa masalah yang berbeda. Contoh: berwudlu ikut Hanafi dan shalat ikut Maliki. Menurut ulama’-ulama’, talfiq seperti ini dibenarkan, karena dia mengamalkan pendapat yang berbeda dalam dua masalah yang berbeda. Talfiq seperti ini dibenarkan dalam bidang ibadah dan muamalat sebagai keringanan dan rahmat Allah terhadap umat Muhammad.

2. Mengambil pendapat yang paling ringan diantara madzhab-madzhab dalam satu masalah. Talfiq seperti ini tidak dibenarkan. Contoh: Ali menikah tanpa menggunakan wali ikut Hanafi, dia juga tidak menyertakan dua saksi mengikuti Imam Maliki.

Talfiq tidak dibenarkan jika kita di lingkungan suatu madzhab, misalnya kita di lingkungan madzhab Syafii, maka tak dibenarkan kita memakai madzhab lain karena kita tak mengetahui hukum-hukum madzhab tersebut secara jelas, dan akan membuat fitnah dan bingungngya orang lain, namun jika kita pindah, misalnya ke wilayah yang masyarakatnya bermadzhab Maliki, maka tak layak kita terus berkeras diri untuk bermadzhab syafii, hendaknya kita memakai madzhab Maliki karena masyarakatnya bermadzhab maliki.

Memang tak ada perintah wajib bermadzhab secara shariih, namun bermadzhab wajib hukumnya, karena kaidah syariah adalah Maa Yatimmul waajib illa bihi fahuwa wajib, yaitu apa-apa yang mesti ada sebagai perantara untuk mencapai hal yang wajib, menjadi wajib hukumnya.

Misalnya kita membeli air, apa hukumnya?, tentunya mubah saja, namun bila kita akan shalat fardhu tapi air tidak ada, dan yang ada hanyalah air yg harus beli, dan kita punya uang, maka apa hukumnya membeli air?, dari mubah berubah menjadi wajib tentunya, karena perlu untuk shalat yang wajib.

Demikian pula dalam syariah ini, tak wajib mengikuti madzhab, namun karena kita tak mengetahui samudra syariah seluruh madzhab, dan kita hidup 14 abad setelah wafatnya Rasul saw, maka kita tak mengenal hukum ibadah kecuali menelusuri fatwa yg ada di imam-imam muhaddits terdahulu, maka bermadzhab menjadi wajib, karena kita tak bisa beribadah hal-hal yang fardhu / wajib kecuali dengan mengikuti salah satu madzhab itu, maka bermadzhab menjadi wajib hukumnya.

Dan berpindah-pindah madzhab tentunya boleh boleh saja bila sesuai situasinya, ia pindah ke wilayah malikiyyun maka tak sepantasnya ia berkeras kepala dengan madzhab Syafiinya. Sebagaiman suatu contoh kejadian ketika Zeyd dan amir sedang berwudhu, lalu keduanya ke pasar, dan masing-masing membeli sesuatu di pasar seraya keduanya menyentuh wanita, lalu keduanya akan shalat, maka Zeyd berwudhu dan amir tak berwudhu, ketika Zeyd bertanya pada amir, mengapa kau tak berwudhu?, bukankah kau bersentuhan dengan wanita?, maka amir berkata, aku bermadzhabkan Maliki, maka Zeyd berkata, maka wudhumu itu tak sah dalam madzhab Malik dan tak sah pula dalam madzhab syafii, karena madzhab Maliki mengajarkan wudhu harus menggosok anggota wudhu, tak cukup hanya mengusap, namun kau tadi berwudhu dengan madzhab Syafii dan lalu dalam masalah bersentuhan kau ingin mengambil madzhab Maliki, maka bersucimu kini tak sah secara Maliki dan telah batal pula dalam madzhab Syafii.

Demikian contoh kecil jika kita talfiq, namun itu dibolehkan jika kita pindah ke wilayah lain, karena kita bisa mencontoh cara ibadah mereka, dan minta petunjuk pada guru guru di wilayah itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.