Sabtu, 30 April 2016

Mengqadha Puasa Ramadhan Di Bulan Sya'ban


Alhamdulillaah kita sudah memasuki akhir bulan Rajab, sebentar lagi kita akan memasuki bulan Sya’ban. Tentunya setelah bulan Sya’ban kita akan memasuki bulan suci Ramadhan, bulan yang ditunggu-tunggu oleh orang-orang muslim yang beriman. Bulan Ramadhan adalah bulan untuk melaksanakan puasa wajib sebulan penuh untuk menjadi orang yang bertaqwa. Sebelum kita memasuki bulan Ramadhan, perlu kita pastikan, masih adakah utang puasa tahun yang lewat yang belum dibayar? Kalau misalnya masih ada yang belum diqadha, segerah untuk mengqadhanya. Sebab kita sangat di anjurkan mengqadhanya sebelum masuk bulan Ramdhan yang akan datang, sebagaimana hadits Rasulullah Saw,

Artinya: 

“’Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Pernah aku mempunyai hutang puasa dari bulan Ramadhan, lalu aku tidak mampu mengqadhanya melainkan di dalam bulan Sya’ban, yang demikian itu karena keberadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya mengundurkan qodho’ Ramadhan baik mengundurkannya karena ada udzur atau pun tidak.”

Jika ada yang berhutang puasa di dalam bulan Ramadhan kemudian belum diqadha maka orang seperti ini tidak lepas dari dua keadaan:

Pertama: Pengakhiran qadha dari hutang Ramadhan tersebut karena sebuah alasan yang dibenarkan oleh syari’at, seperti sakit dan sakitnya berlanjutnya sampai datang ramadhan lainnya, atau alasan lain yang mengakibatkan ia tidak mampu untuk mengqadha hutang puasanya.

Orang seperti ini tidak berdosa dan wajibnya baginya mengqadha sejumlah hari yang ia berhutang puasa. Lihat dalil-dalinya berikut ini:

                                                                                                  فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ , التغابن: 16
Artinya: “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At Taghabun:16).

                                                                                             لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا, البقرة: 286
Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”(QS. Al Baqarah: 286).

Dan Allah Ta’ala berfirman:

{فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ } [البقرة: 184]
Artinya: “Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 184).

Kedua: Pengakhiran qadha hutang puasa Ramadhan karena kelalaian, kemalasan, peremehan dan tidak mempunyai alasan yang dibolehkan oleh syari’at. Setelah Ramadhan sampai bulan Sya’ban, dia sebenarnya mampu untuk membayar utang puasa Ramadhan tersebut, namun belum kunjung juga dilunasi sampai Ramadhan tahun berikutnya. Orang seperti ini, menurut kesepakatan para ulama tetap wajib mengqadha, hal in berdasarkan ayat diatas tadi. Namun ada lagi yang menjadi  perbedaan pendapat di antara para ulama, Apakah disamping  dia memiliki kewajiban mengqodho’ puasa saja ataukah memiliki tambahan kewajiban lainnya?
Dalam permasalahan ini terdapat tiga pendapat dikalangan ‘Ulama:

Pertama: Wajib mengqadha dan membayar fidyah, dan ini adalah pendapatnya Imam Ahmad bin Hanbal, Malik bin Anas dan Imam Asy Syafi’i mengatakan bahwa jika dia meninggalkan qodho’ puasa dengan sengaja, maka di samping mengqodho’ puasa, dia juga memiliki kewajiban memberi makan orang miskin bagi setiap hari yang belum diqodho’. Pendapat inilah yang lebih kuat sebagaimana difatwakan oleh beberapa sahabat seperti Ibnu ‘Abbas ra.

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz pernah menjabat sebagai ketua Lajnah Ad Da’imah (komisi fatwa Saudi Arabia)- ditanyakan, “Apa hukum seseorang yang meninggalkan qodho’ puasa Ramadhan hingga masuk Ramadhan berikutnya dan dia tidak memiliki udzur untuk menunaikan qodho’ tersebut. Apakah cukup baginya bertaubat dan menunaikan qodho’ atau dia memiliki kewajiban kafaroh?”

Syaikh Ibnu Baz menjawab, “Dia wajib bertaubat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan dia wajib memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan disertai dengan qodho’ puasanya. Ukuran makanan untuk orang miskin adalah setengah sha’ Nabawi dari makanan pokok negeri tersebut (kurma, gandum, beras atau semacamnya) dan ukurannya adalah sekitar 1,5 kg sebagai ukuran pendekatan. Dan tidak ada kafaroh (tebusan) selain itu." Hal inilah yang difatwakan oleh beberapa sahabat ra seperti Ibnu ‘Abbas ra.

Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:

Artinya: “Barangsiapa yang meremehkan puasa Ramadhan sampai datang Ramadhan selanjutnya, maka berpuasalah ia bulan ini yang ia dapati (dari Ramadhan yang kedua) kemudian berpuasalah ia atas apa yang ia tinggalkan, dan memberikan maka setiap harinya seorang miskin.” HR. Ad Daruquthny dan ibnu Muflih mengatakan di dalam kitab Al Furu’ (5/64): “diriwayatkan oleh Sa’id dengan sanad yang baik dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma”, riwayat ini dishahihkan juga oleh An Nawawi di dalam kitab Al Majmu’ .
Kedua : Wajib mengqadha saja. Sebagian ulama mengatakan bahwa bagi orang yang sengaja mengakhirkan qodho’ Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya, maka dia cukup mengqodho’ puasa tersebut disertai dengan taubat. Pendapat ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Ibnu Hazm.
Dan ini pendapatnya Al Hasan Al Bashry, An Nakh’i, Al Bukhari berkata di dalam kitab shahihnya:

“Berkata Ibrahim yaitu An Nakh’i: 

“Jika ia meremehkan sampai datang ramadhan lain, maka ia berpuasa pada keduanya dan ia tidak berpendapat ada kewajiban fidyah atasnya dan diriwayatkan dari Abu Hurairah secara mursal dan juga Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhum bahwa ia (juga) membayar fidyah, kemudia Al Bukhari berkata: “Allah tidak menyebutkan membayar fidyah, tetapi hanya berfirman: “maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”

Ketiga: Wajib membayar fidyah saja. Pendapat ini sangat lemah. Dan ini adalah pendapatnya Abdullah bin Umar ra. Beliau berkata:

Artinya: “Barangsiapa yang mendapati bulan Ramadhan dan belum berpuasa pada ramadhan yang lalu maka hendaklah ia memberi makan setiap harinya seorang miskin sebanyak satu mud dari gandum.” HR. Ad DaruQuthny (2/196) dan Ibnu Muflih berkata: “Disebutkan oleh Ath Thahawy dari riwayat Abdullah Al ‘Umary dan di dalam sanadnya terdapat lemah, riwayat dari Abdullah bin Umar; bahwa memberikan makan tanpa qadha’.” 

Sahabat bacaan madani. Selanjutnya tidak ada dalil ditemukan tentang wajib mengqadha puasa  dua kali lipat apabila ada utang puasa yang belum diqadha satu tahun sebelumnya.

1 komentar:

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.