Sabtu, 10 September 2016

Hukum Memakan Kepiting Menurut Islam


KEPUTUSAN FATWA
KOMISI FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
tentang
KEPITING


Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam rapat Komisi bersama dengan Pengurus Harian MUI dan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat‐obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LP.POM MUI), pada hari Sabtu, 4 Rabiul. Akhir 1423 H./15 Juni 2002 M., Setelah:

MENIMBANG
1. bahwa di kalangan umat Islam Indonesia, status hukum mengkonsumsi kepiting masih dipertanyakan kehalalannya;

2. bahwa oleh karena itu, Komisi Fatwa MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang status hukum mengkonsumsi kepiting, sebagai pedoman bagi umat Islam dan pihak‐pihak lain yang memerlukannya.

MENGINGAT
1. Firman Allah SWT tentang keharusan mengkonsumsi yang halal dan thayyib (baik), hukum mengkonsumsi jenis makanan hewani, dan sejenisnya, antara lain :

"Hai sekalian manusia! Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah‐langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu" (QS. al‐Baqarah [2]: 168).

”(yaitu) orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang munkar dan menhalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan! bagi mereka segala yang buruk... "(QS. al‐A'raf [7]: 157).

Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka? " Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik‐baik dan (buruan yang ditangkap oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, Maka, makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab‐Nya". Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah ni'mat Allah jika kamu hanya kepada‐Nya saja menyembah. Dan makanlah makanan yang halal lagi baik ! dari apa yang Allah telah berikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada‐Nya. Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang baik, bagimu, dan bagi orang‐orang yang dalam perjalanan panjang,.......... '(OS. al‐Baqarah [2] : 172). 

Kemudian Nabi menceritakan seorang laki‐laki yang melakukan perjalanan panjang, rambutnya acak‐acakan, dan badannya berlumur debu. Sambil menengadahkan kedua tangan ke langit ia berdoa, 'Ya Tuhan, ya Tuhan,.. (berdoa dalam perjalanan, apalagi dengan kondisi seperti itu, pada umumnya dikabulkan oleh Allah swt.  Sedangkan, makanan orang itu haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia diberi makan dengan yang haram. (Nabi memberikan komentar), 'Jika demikian halnya, bagaimana mumgkin ia akan dikabulkan doanya"... (HR. Muslim dari Abu Hurairah), 

"Yang halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas; dan di antara keduanya ada hal‐hal yang musytabihat (syubhat, samar‐samar, tidak jelas halas haramnya), kebanyakan manusia tidak mengetahui hukumnya. Barang siapa hati‐hati dari perkara syubhat sungguh ia telah menyelamatkan agama dan harga dirinya..." (HR. Muslim).  

2. Hadis Nabi : "Laut itu suci airnya dan halal bangkai (ikan)‐nya" ,

3. Qaidah fiqhiyyah: Pada dasarnya hukum tentang sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya,

4. Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga MUI Periode 2001‐2005

5. Pedoman Penetapan Fatwa MUI

MEMPERHATIKAN : 
1. Pendapat Imam Al Ramli dalam Nihayah Al Muhtaj ila Ma’rifah Alfadza‐al‐Minhaj, (Dar’alfikr,) juz VIII, halaman 150 tentang pengertian “Binatang laut/air , dan halaman 151‐ 152 tentang binatang yang hidup dilaut dan didaratan.

2. Pendapat Syeikh Muhammad al‐Kathib a;‐Syarbaini dalam Mughni Al‐Muhtaj ila Ma’rifah Ma’ani Al‐Minhaj, (t.t : Dar Al‐Fikr, T.th), juz IV Hal 297 tentang pengertian “binatang laut/Air “, pendapat Imam Abu Zakaria bin Syaraf al‐Nawawi dalam Minhaj Al‐Thalibin, Juz IV, hal. 298 tentang binatang laut dan didaratan serta alasan (‘illah) hukum keharamannya yang dikemukakan oleh al‐Syarbaini :

3. Pendapat Ibn al'Arabi dan ulama lain sebagaimana dikutip oleh Sayyid Sabiq dalam Fiqh al‐Sunnah (Beirut : Dar al‐Fikr, 1992), Juz lll, halaman 249 tentang "binatang yang hidup di daratan dan laut".

4. Pendapat Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, MA (anggot a Komisi Fatwa) dalam makalah Kepiting : Halal atau Haram dan penjelasan yang disampaikannya pada Rapat Komisi Fatwa MUI, serta pendapat peserta rapat pada hari Rab 29 Mei 2002 M. / 16 Rabi'ul Awwal 1421 H.

5. Pendapat Dr. Sulistiono (Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB) dalam makalah Eko‐Biologi Kepiting Bakau (Scyllla spp) dan penjelasannya tentang kepiting yang disampaikan pada Rapat Kornisi Fatwa MUI pada hari Sabtu, 4 Rabi'ul Akhir 1423 H / 15 Juni 2002 M. antara lain sebagai berikut :

6. Ada 4 (empat)jenis kepiting bakau yang sering dikonsutnsi dan menjadi komoditas, yaitu :
a. Scylla serrata,
b. Scylla tranquebarrica,
c. Scylla olivacea, dan
d. Scylla pararnarnosain.
Keempat jenis kepiting bakau ini oleh masyarakat umum hanya disebut dengan "kepiting".

7. Kepiting adalah jenis binatang air, dengan alasan :
a. Bernafas dengan insang.
b. Berhabitat di air.
c. Tidak akan pernah mengeluarkan telor di darat, melainkan di air karena memerlukan oksigen dari air.

8. Kepiting termasuk keempat,jenis di atas hanya ada yang :
a. hidup di air tawar saja
b. hidup di air laut saja, dan
c. hidup di air laut dan di air tawar. Tidak ada yang hidup atau berhabitat di dua alam : di laut dan di darat.

Rapat Komisi Fatwa MUI dalam rapat tersebut, bahwa kepiting, adalah binatang air baik di air laut maupun di air tawar dan bukan binatang yang hidup atau berhabitat di dua alam : dilaut dan didarat :

Dengan bertawakkal kepada Allah SWT.


MEMUTUSKAN

MENETAPKAN : FATWA TENTANG KEPITING  
1. Kepiting adalah halal dikonsumsi sepanjang tidak menimbulkan bahaya bagi kesehatan Manusia.

2. Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika dikemudian hari terdapat kekeliruan, akan diperbaiki sebagaimana:, mestinya.

Agar setiap muslim dan pihak‐pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk mcnyebarluaskan fatwa ini.

Ditetapkan di: Jakarta
Pada tanggal : 4 Rabi'ul Akhir 1423 H.
15 Ju1i  2002 M


KOMISI FATWA
MAKLIS ULAMA INDONESIA
Ketua,

K. H. MA'RUF AMIN

Sekretaris,

DRS. HASANUDIN, S.Ag

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.