Ihtikar adalah membeli barang pada saat lapang lalu menimbunnya supaya barang tersebut langka di pasaran dan harganya menjadi naik.
Sekalipun Islam memberikan kebebasan kepada setiap orang dalam menjual, membeli dan yang menjadi keinginan hatinya, tetapi Islam menentang dengan keras sifat ananiyah (egois) yang mendorong sementara orang dan ketamakan pribadi untuk menumpuk kekayaan atas biaya orang lain dan memperkaya pribadi, kendati dari bahan baku yang menjadi kebutuhan rakyat.
Untuk itu Rasulullah Saw. melarang menimbun dengan ungkapan yang sangat keras. Sabda Rasulullah Saw:
"Barangsiapa menimbun bahan makanan selama empat puluh malam, maka sungguh Allah tidak lagi perlu kepadanya." (HR. Ahmad, Hakim, Ibnu Abu Syaibah dan Bazzar)
Dan sabdanya pula:
"Tidak akan menimbun kecuali orang berbuat dosa." (HR. Muslim)
Para ulama berbeda pendapat tentang bentuk ihtikar yang diharamkan.
At Tirmidzi berkata (sunan III/567), “Hukum inilah yang berlaku dikalangan ahli ilmu. Mereka melarang penimbunan bahan makanan. Sebagian ulama membolehkan penimbunan selain bahan makanan." Ibnul Mubarak berkata, “Tidak mengapa menimbun kapas, kulit kambing yang sudah disamak (sakhtiyan), dan sebagainya“.
Al Baghawi berkata (Syarhus Sunnah VIII/178-179), “Para ulama berbeda pendapat tentang masalah ihtikar."
Diriwayatkan dari Umar bahwa ia berkata, “Tidak boleh ada penimbunan barang di pasar kami. Yakni sejumlah oknum dengan sengaja memborong barang-barang di pasar lalu ia menimbunnya. Akan tetapi siapa saja yang memasukkan barang dari luar dengan usaha sendiri pada musim dingin atau musim panas, maka terserah padanya apakah mau menjualnya atau menyimpannya.”
Diriwayatkan dari Utsman bahwa beliau melarang penimbunan barang. Imam Malik dan Ats Tsauri juga melarang penimbunan seluruh jenis barang. Imam Malik mengatakan, “Dilarang menimbun jerami, kain wol, minyak dan seluruh jenis barang yang dapat merugikan pasar”.
Sebagian ulama berpendapat bahwa penimbunan barang hanya berlaku pada bahan makanan saja. Sedangkan barang-barang lainnya tidak mengapa. Ini pendapat Abdullah bin Al Mubarak dan Imam Ahmad.
Imam Ahmad berkata, “Penimbunan barang hanya berlaku pada tempat-tempat tertentu seperti Makkah, Madinah atau tempat terpencil di batas-batas wilayah. Tidak berlaku seperti di Bashrah dan Baghdad, karena kapal dapat berlabuh di sana“.
An Nawawi berkata (Syarh Shahih Muslim XI/43), “Hadits diatas dengan jelas menunjukkan haramnya ihtikar. Para ulama Syafi’i mengatakan bahwa ihtikar yang diharamkan adalah penimbunan barang-barang pokok tertentu, yaitu membelinya pada saat harga mahal dan menjualnya kembali. Ia tidak menjual saat itu juga, tapi ia simpan sampai harga melonjak naik. Tetapi jika dia mendatangkan barang dari kampungnya atau membelinya pada saat harga murah lalu ia menyimpannya karena kebutuhannya, atau ia menjualnya kembali saat itu juga, maka itu bukan ihtikar dan tidak diharamkan. Adapun selain bahan makanan, tidak diharamkan penimbunan dalam kondisi apapun juga. Begitulah perinciannya dalam madzhab kami“.
Rasulullah Saw. menegaskan tentang kepribadian orang yang suka menimbun itu sebagai berikut:
"Sejelek-jelek manusia ialah orang yang suka menimbun; jika dia mendengar harga murah, merasa kecewa; dan jika mendengar harga naik, merasa gembira." (hadits ini dibawakan oleh Razin dalam Jami'nya)
Dan sabdanya pula:
"Saudagar itu diberi rezeki, sedang yang menimbun dilaknat." (HR. Ibnu Majah dan Hakim)
Ini semua bisa terjadi, karena seorang pedagang bisa mengambil keuntungan dengan dua macam jalan:
1. Dengan jalan menimbun barang untuk dijual dengan harga yang lebih tinggi, di saat orang-orang sedang mencari dan tidak mendapatkannya, kemudian datanglah orang yang sangat membutuhkan dan dia sanggup membayar berapa saja yang diminta, kendati sangat tinggi dan melewati batas.
2. Dengan jalan memperdagangkan sesuatu barang, kemudian dijualnya dengan keuntungan yang sedikit. Kemudian ia membawa dagangan lain dalam waktu dekat dan dia beroleh keuntungan pula. Kemudian dia berdagang lainnya pula dan beroleh untung lagi. Begitulah seterusnya.
Mencari keuntungan dengan jalan kedua ini lebih dapat membawa kemaslahatan dan lebih banyak mendapatkan barakah serta si pemiliknya sendiri insya Allah akan beroleh rezeki, sebagaimana spirit yang diberikan oleh Nabi Saw.
Di antara hadits-hadits penting yang berkenaan dengan masalah penimbunan dan permainan harga ini, ialah hadis yang diriwayatkan oleh Ma'qil bin Yasar salah seorang sahabat Nabi. Ketika dia sedang menderita sakit keras, didatangi oleh Abdullah bin Ziad -salah seorang gubernur dinasti Umaiyah- untuk menjenguknya. Waktu itu Abdullah bertanya kepada Ma'qil:
"Hai Ma'qil: Apakah kamu menduga, bahwa aku ini seorang yang memeras darah haram?" la menjawab: "Tidak", la bertanya lagi: "Apakah kamu pernah melihat aku ikut campur dalam masalah harga orang-orang Islam?"
la menjawab: "Saya tidak pernah melihat." Kemudian Ma'qil berkata: "Dudukkan aku!" Mereka pun kemudian mendudukkannya,
lantas ia berkata: "Dengarkanlah, hai Abdullah! Saya akan menceriterakan kepadamu tentang sesuatu yang pernah saya dengar dari Rasulullah Saw., bukan sekali dua kali. Saya mendengar Rasulullah Saw. bersabda demikian:
"Barangsiapa ikut campur tentang harga-harga orang-orang Islam supaya menaikkannya sehingga mereka keberatan, maka adalah menjadi ketentuan Allah untuk mendudukkan dia itu pada api yang sangat besar nanti di hari kiamat." Kemudian Abdullah bertanya: "Engkau benar- benar mendengar hal itu dari Rasulullah Saw.?!"
Ma'qil menjawab: "Bukan sekali dua kali." (HR. Ahmad dan Thabarani)
Dari nas-nas hadits tersebut dan mafhumnya, para ulama beristimbat (menetapkan suatu hukum), bahwa diharamkannya menimbun adalah dengan dua syarat:
1. Dilakukan di suatu negara di mana penduduk negara itu akan menderita sebab adanya penimbunan.
2. Dengan maksud untuk menaikkan harga sehingga orang-orang merasa payah, supaya dia beroleh keuntungan yang berlipat-ganda.
Sekalipun Islam memberikan kebebasan kepada setiap orang dalam menjual, membeli dan yang menjadi keinginan hatinya, tetapi Islam menentang dengan keras sifat ananiyah (egois) yang mendorong sementara orang dan ketamakan pribadi untuk menumpuk kekayaan atas biaya orang lain dan memperkaya pribadi, kendati dari bahan baku yang menjadi kebutuhan rakyat.
Untuk itu Rasulullah Saw. melarang menimbun dengan ungkapan yang sangat keras. Sabda Rasulullah Saw:
"Barangsiapa menimbun bahan makanan selama empat puluh malam, maka sungguh Allah tidak lagi perlu kepadanya." (HR. Ahmad, Hakim, Ibnu Abu Syaibah dan Bazzar)
Dan sabdanya pula:
"Tidak akan menimbun kecuali orang berbuat dosa." (HR. Muslim)
Para ulama berbeda pendapat tentang bentuk ihtikar yang diharamkan.
At Tirmidzi berkata (sunan III/567), “Hukum inilah yang berlaku dikalangan ahli ilmu. Mereka melarang penimbunan bahan makanan. Sebagian ulama membolehkan penimbunan selain bahan makanan." Ibnul Mubarak berkata, “Tidak mengapa menimbun kapas, kulit kambing yang sudah disamak (sakhtiyan), dan sebagainya“.
Al Baghawi berkata (Syarhus Sunnah VIII/178-179), “Para ulama berbeda pendapat tentang masalah ihtikar."
Diriwayatkan dari Umar bahwa ia berkata, “Tidak boleh ada penimbunan barang di pasar kami. Yakni sejumlah oknum dengan sengaja memborong barang-barang di pasar lalu ia menimbunnya. Akan tetapi siapa saja yang memasukkan barang dari luar dengan usaha sendiri pada musim dingin atau musim panas, maka terserah padanya apakah mau menjualnya atau menyimpannya.”
Diriwayatkan dari Utsman bahwa beliau melarang penimbunan barang. Imam Malik dan Ats Tsauri juga melarang penimbunan seluruh jenis barang. Imam Malik mengatakan, “Dilarang menimbun jerami, kain wol, minyak dan seluruh jenis barang yang dapat merugikan pasar”.
Sebagian ulama berpendapat bahwa penimbunan barang hanya berlaku pada bahan makanan saja. Sedangkan barang-barang lainnya tidak mengapa. Ini pendapat Abdullah bin Al Mubarak dan Imam Ahmad.
Imam Ahmad berkata, “Penimbunan barang hanya berlaku pada tempat-tempat tertentu seperti Makkah, Madinah atau tempat terpencil di batas-batas wilayah. Tidak berlaku seperti di Bashrah dan Baghdad, karena kapal dapat berlabuh di sana“.
An Nawawi berkata (Syarh Shahih Muslim XI/43), “Hadits diatas dengan jelas menunjukkan haramnya ihtikar. Para ulama Syafi’i mengatakan bahwa ihtikar yang diharamkan adalah penimbunan barang-barang pokok tertentu, yaitu membelinya pada saat harga mahal dan menjualnya kembali. Ia tidak menjual saat itu juga, tapi ia simpan sampai harga melonjak naik. Tetapi jika dia mendatangkan barang dari kampungnya atau membelinya pada saat harga murah lalu ia menyimpannya karena kebutuhannya, atau ia menjualnya kembali saat itu juga, maka itu bukan ihtikar dan tidak diharamkan. Adapun selain bahan makanan, tidak diharamkan penimbunan dalam kondisi apapun juga. Begitulah perinciannya dalam madzhab kami“.
Rasulullah Saw. menegaskan tentang kepribadian orang yang suka menimbun itu sebagai berikut:
"Sejelek-jelek manusia ialah orang yang suka menimbun; jika dia mendengar harga murah, merasa kecewa; dan jika mendengar harga naik, merasa gembira." (hadits ini dibawakan oleh Razin dalam Jami'nya)
Dan sabdanya pula:
"Saudagar itu diberi rezeki, sedang yang menimbun dilaknat." (HR. Ibnu Majah dan Hakim)
Ini semua bisa terjadi, karena seorang pedagang bisa mengambil keuntungan dengan dua macam jalan:
1. Dengan jalan menimbun barang untuk dijual dengan harga yang lebih tinggi, di saat orang-orang sedang mencari dan tidak mendapatkannya, kemudian datanglah orang yang sangat membutuhkan dan dia sanggup membayar berapa saja yang diminta, kendati sangat tinggi dan melewati batas.
2. Dengan jalan memperdagangkan sesuatu barang, kemudian dijualnya dengan keuntungan yang sedikit. Kemudian ia membawa dagangan lain dalam waktu dekat dan dia beroleh keuntungan pula. Kemudian dia berdagang lainnya pula dan beroleh untung lagi. Begitulah seterusnya.
Mencari keuntungan dengan jalan kedua ini lebih dapat membawa kemaslahatan dan lebih banyak mendapatkan barakah serta si pemiliknya sendiri insya Allah akan beroleh rezeki, sebagaimana spirit yang diberikan oleh Nabi Saw.
Di antara hadits-hadits penting yang berkenaan dengan masalah penimbunan dan permainan harga ini, ialah hadis yang diriwayatkan oleh Ma'qil bin Yasar salah seorang sahabat Nabi. Ketika dia sedang menderita sakit keras, didatangi oleh Abdullah bin Ziad -salah seorang gubernur dinasti Umaiyah- untuk menjenguknya. Waktu itu Abdullah bertanya kepada Ma'qil:
"Hai Ma'qil: Apakah kamu menduga, bahwa aku ini seorang yang memeras darah haram?" la menjawab: "Tidak", la bertanya lagi: "Apakah kamu pernah melihat aku ikut campur dalam masalah harga orang-orang Islam?"
la menjawab: "Saya tidak pernah melihat." Kemudian Ma'qil berkata: "Dudukkan aku!" Mereka pun kemudian mendudukkannya,
lantas ia berkata: "Dengarkanlah, hai Abdullah! Saya akan menceriterakan kepadamu tentang sesuatu yang pernah saya dengar dari Rasulullah Saw., bukan sekali dua kali. Saya mendengar Rasulullah Saw. bersabda demikian:
"Barangsiapa ikut campur tentang harga-harga orang-orang Islam supaya menaikkannya sehingga mereka keberatan, maka adalah menjadi ketentuan Allah untuk mendudukkan dia itu pada api yang sangat besar nanti di hari kiamat." Kemudian Abdullah bertanya: "Engkau benar- benar mendengar hal itu dari Rasulullah Saw.?!"
Ma'qil menjawab: "Bukan sekali dua kali." (HR. Ahmad dan Thabarani)
Dari nas-nas hadits tersebut dan mafhumnya, para ulama beristimbat (menetapkan suatu hukum), bahwa diharamkannya menimbun adalah dengan dua syarat:
1. Dilakukan di suatu negara di mana penduduk negara itu akan menderita sebab adanya penimbunan.
2. Dengan maksud untuk menaikkan harga sehingga orang-orang merasa payah, supaya dia beroleh keuntungan yang berlipat-ganda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.