Jumat, 13 Januari 2017

Hukum Menjual Barang yang Masih Samar dalam Islam

Jual beli dalam bahasa arab terdiri dari dua kata yang mengandung makna berlawanan yaitu al-bai’ yang artinya jual dan asy-syira’a yang artinya beli. Menurut istilah hukum syara, jual beli ialah menukar suatu barang/uang dengan barang yang lain dengan cara aqad (ijab/qobul).

Jual beli dikatakan sah, apabila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Persyaratan itu untuk menghindari timbulnya perselisihan antara penjual dan pembeli akibat adanya kecurangan dalam jual beli. Bentuk kecurangan dalam jual beli misalnya dengan mengurangi timbangan, mencampur barang yang berkualitas baik dengan barang yang berkualitas lebih rendah  kemudian dijual dengan harga barang yang berkualitas baik. Rasulullah Muhammad SAW melarang jual beli yang mengandung unsur tipuan. Oleh karena itu seorang pedagang dituntut untuk berlaku jujur dalam menjual dagangannya. Termasuk didalamnya syarat barang yang dijual itu dapat diketahui dengan jelas baik ukuran, bentuk, sifat dan bentuknya oleh penjual dan pembeli.

Dalam masalah itu Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi menjelaskan. Setiap aqad perdagangan ada lubang yang membawa pertentangan, apabila barang yang dijual itu tidak diketahui atau karena ada unsur penipuan yang dapat menimbulkan pertentangan antara si penjual dan pembeli atau karena salah satu ada yang menipu. Justru itu cara ini dilarang oleh Rasulullah Saw, sebagai usaha menutup pintu perbuatan maksiat (saddud dzara'ik).

Justru itu pula, dilaranglah menjual bibit binatang yang masih ada di dalam tulang rusuk binatang jantan, atau menjual anak yang masih dalam kandungan, atau menjual burung yang terbang di udara, atau menjual ikan yang masih dalam air dan semua macam jual-beli yang terdapat unsur-unsur penipuan.

Ini semua justru karena tidak diketahuinya secara pasti benda yang dijualnya itu.

Di zaman Nabi pernah terjadi beberapa orang menjual buah-buahan yang masih di pohon dan belum nampak tua. Sesudah aqad, terjadilah suatu musibah yang tidak diduga-duga, maka rusaklah buah-buahan tersebut. Akhirnya terjadilah pertentangan antara si penjual dan si pembeli, Si penjual mengatakan: saya sudah menjualnya dan sudah ada persetujuan. Sedang si pembeli mengatakan: kamu menjual kepadaku buah-buahan tetapi nyatanya kini buah itu tidak ada, Waktu itulah Nabi kemudian melarang menjual buah-buahan sehingga jelas sudah masak/tua, kecuali dengan syarat buah-buahan tersebut dipetik seketika itu juga.

Beliau melarang juga menjual biji-bijian yang masih dalam tangkai, kecuali apabila sudah nampak memutih dan selamat dari musibah. Kemudian beliau bersabda:

"Apakah kamu beranggapan kalau Allah sudah melarang buah-buahan, kemudian salah seorang di antara kamu menganggap halal untuk makan harta saudaranya?" (HR. Bukhari)

Tidak semua yang masih samar itu terlarang. Sebab sebagian barang ada yang tidak dapat dilepaskan dari kesamaran. Misalnya orang yang akan membeli sebuah rumah, tidak mungkin dia dapat mengetahui fondasi dan apa yang ada di dalam temboknya itu. Tetapi yang dilarang ialah kesamaran yang ada unsur-unsur kejahatan yang memungkinkan dapat membawa kepada permusuhan dan pertentangan atau memakan harta orang lain dengan cara batil.

Kalau kesamaran itu tidak seberapa, dan dasarnya ialah urfiyah, maka tidaklah haram, misalnya menjual barang-barang yang berada di dalam tanah, seperti wortel, lobak, brambang dan sebagainya; dan seperti menjual buah-buahan, misalnya mentimun, semangka dan sebagainya.

Begitulah menurut madzhab Malik, yang membolehkan menjual semua yang sangat dibutuhkan yang kiranya kesamarannya itu tidak banyak dan memberatkan di waktu terjadinya aqad.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.