Jumat, 01 September 2017

Sejarah Kerajaan Gowa-Tallo Sulawesi Selatan

Kerajaan Gowa adalah salah satu kerajaan besar dan paling sukses yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Pada awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan komunitas, yang dikenal dengan nama Bate Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi pusat kerajaan Gowa: Tombolo, Lakiung, ParangParang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero dan Kalili. Kemudian semua komunitas bergabung dan sepakat membentuk Kerajaan Gowa.

Di Sulawesi Selatan pada awal abad ke-16 terdapat banyak kerajaan bercorak Hindu, tetapi yang terkenal adalah Gowa, Tallao, Bone, Wajo, Soppeng, dan Luwu. Pada tahun 1605 Sultan Alaudin (1591 – 1639 M) dari Gowa masuk Islam berkat adanya dakwah dari Datuk Ri Bandang dan Sulaeman dari Minangkabau. Maka sejak saat itu kerajaan Gowa resmi menjadi kerajaan Islam.

Islamnya raja Gowa segera diikuti oleh rakyatnya. Kerajaan Gowa dan Tallo akhirnya dapat menguasai kerajaan-kerajaan lainnya. Dua kerajaan itu lazim disebut Kerajaan Makassar. Kerajaan Gowa mencapai puncak kejayaannya pada abad 16 yang lebih populer dengan sebutan kerajaan kembar “GowaTallo”.

Dua kerajaan telah menyatakan ikrar bersama, yang terkenal dalam pribahasa “Rua Karaeng Na Se’re Ata” (“Dua Raja tetapai satu rakyat”). Oleh karena itu, kesatuan dua kerajaan itu disebut Kerajaan Makassar. Dari Makassar, agama Islam disebarkan ke berbagai daerah, bahkan sampai ke Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

Pada pertengahan abad ke-17 Makassar atau Gowa berada pada puncak kejayaannya. Pada masa itu dapat dikatakan bahwa hampir seluruh daerah di Indonesia bagian timur mulai Pulau Sangir Talaud sebelah utara, Kutai di bagian barat, serta daerah Marege (Australia) di bagian selatan, sudah merasakan pengaruh kekuasaan Kerajaan Gowa.

Pemerintahan kerajaan Gowa mencapai puncaknya terutama di bawah pemerintahan Manuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung Karaeng Lakiung Sultan Malikulsaid (1639-1653 M) atau lebih dikenal Sultan Malikussaid (1639-1653 M). Kekuasaan dan pengaruh kerajaan Gowa semakin luas meliputi seluruh wilayah Sulawesi Selatan, bahkan kawasan Timur Indonesia.

Kerajaan Gowa ketika itu telah mampu menjalin hubungan akrab dengan raja-raja di Nusantara. Tidak hanya itu, bahkan Gowa juga menjalin hubungan internasional dengan rajaraja dan pembesar dari negara luar, seperti Raja Inggris, Raja Kastilia di Spanyol, Raja Portugis, Raja Muda Portugis di Gowa (India), Gubernur Spanyol dan Mufti Besar Arabia.

Setelah memerintah kerajaan Gowa selama 16 tahun, tanggal 5 November 1653 Sultan Malikussaid wafat. Beliau digantikan oleh puteranya I Mallombasi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin yang menjadi raja Gowa XVI (1654-1660 M) atau yang lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin. Sultan Hasanuddin bersikap tegas dan tidak mau tunduk kepada Belanda.

Pada tahun 1654-1655 M terjadi pertempuran hebat antara kerajaan Gowa dan Belanda di kepulauan Maluku. Pada bulan April 1655 pasukan kerajaan Gowa yang dipimpin Sultan Hasanuddin menyerang Buton, dan berhasil mendudukinya serta menewaskan semua tentara Belanda di negeri itu.

Sultan Hasanuddin juga berhasil memperluas daerah kekuasaannya dengan menundukkan negara-negara kecil di Sulawesi Selatan, termasuk kerajaan Bone. Raja Bone (Aru Palaka) diusir dari negerinya.

Setelah Belanda mengetahui bahwa Bandar Makassar cukup ramai dan banyak menghasilkan beras, Belanda mulai mengirimkan utusannya ke Makassar untuk membuka hubungan dagang. Utusan itu diterima baik dan Belanda sering datang ke Makassar, tetapi hanya untuk berdagang. Setelah Belanda sering datang ke Makassar, mereka mulai membujuk Sultan Hasanuddin untuk bersama-sama menyerbu Banda (pusat rempah-rempah). Belanda juga menganjurkan agar Makassar tidak menjual berasnya kepada Portugis. Namun, semua ajakan Belanda itu ditolak.

Antara Makassar dan Belanda sering terjadi konik karena persaingan dagang. Permusuhan Makassar dengan Belanda diawali dengan terjadinya insiden penipuan pada tahun 1616 M. Saat itu para pembesar Makassar diundang untuk suatu perjamuan di atas kapal VOC, tetapi temyata mereka dilucuti sehingga terjadilah perkelahian seru yang menimbulkan banyak korban di pihak Makassar. Sejak itu orang-orang Makassar membenci Belanda.

Suatu ketika orang-orang Makassar membunuh awak-awak kapal yang mendarat di Sumba. Orang-orang Belanda pun juga sering menyerang perahu-perahu Makassar yang berdagang ke Maluku. Keadaan semakin meruncing dan akhirnya pecah menjadi perang terbuka. Dalam peperangan tersebut Belanda sering mengalami kesulitan dalam menundukkan Makassar sehingga Belanda memperalat Aru Palaka (Raja Bone) untuk mengalahkan Makassar.

Peperangan demi peperangan melawan Belanda dan bangsanya sendiri (Bone) yang dialami Gowa, membuat banyak kerugian. Kerugian itu sedikit banyaknya membawa pengaruh terhadap perekonomian Gowa. Sejak kekalahan Gowa dengan Belanda terutama setelah hancurnya benteng Somba Opu, maka sejak itu pula keagungan Gowa yang sudah berlangsung berabad-abad lamanya akhirnya mengalami kemunduran.
Sumber Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti Kelas 9: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.