Riwayat Hidup dan Karya Syamsuddin Al-Sumaterani.
Syaikh Syamsuddin ibn Abdullah al-Sumaterani (w. 1630 M) dikenal dengan nama Syamsuddin al-Sumaterani atau Syamsuddin Pasai. Syamsuddin al-Sumaterani hidup di Aceh antara akhir abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-17 pada masa Sultan Iskandar Muda (w. 1045H/ 1639 M). Dalam karya S.M.N. Al-Attas, Syamsuddin al-Sumaterani wafat pada 1040 H/ 1630 M.
Syamsuddin al-Sumaterani adalah penganut mazhab Ibnu al-Arabi yaitu paham wahdat al-wujud atau wujudiyah, sekaligus murid Hamzah al-Fansuri. Syamsuddin al-Sumaterani merupakan orang penting istana yaitu sebagai kepala penasehat raja dengan gelar syaikh al-Islam. Syamsuddin al-Sumaterani terkenal sebagai seorang ahli ilmu tasuwuf, fasih berbicara bahasa Arab, dan alim dalam segala ilmu.
Paham wujudiyah Syamsuddin al-Sumaterani kemudian bertentangan dengan paham Nuruddin al-Raniri. Maka oleh Nuruddin al-Raniri dianggap sebagai ajaran menyesatkan. Akhirnya atas perintah Sultan Iskandar Tsani (w. 1641 M) karya-karyanya dalam bahasa Arab dan Melayu dibakar dan dimusnahkan.
Akan tetapi, terdapat beberapa kitab yang dapat diselamatkan yaitu kitab mir’at al-Mu’minin, syarah ruba’i Hamzah Fansuri, jawahir al-Haqaiq, mir’at al-Mukminin, mir’at al-Iman, syarah mi’ratul qulb, kitab al-Martabah, dan kitab al-Harakat. Selain itu Syamsuddin al-Sumaterani merupakan pengikut dari tarekat qadiriyah, dan juga dikenal sebagai pemikir yang baik.
Pemikiran Kalam Syamsuddin al-Sumaterani.
1. Tentang Tuhan.
Syamsuddin al-Sumatrani memandang perlu mentasybihkan sekaligus mentanzihkan Tuhan. Sebagaimana terkandung makna bahwa di samping adanya Tuhan, diakui adanya wujud alam yang merupakan mitsalnya Tuhan (mirip dengan Tuhan). Walau mitsal yang dimaksud tidak sama atau tidak sebanding dengan Tuhan itu sendiri. Syamsuddin al-Sumaterani memandang Tuhan sebagimana berikut:
1. Tuhan adalah al-Qadim dan al-Baqa’, bukan baru, al-‘Ard, al-Jisim serta tidak dapat ditentukan oleh suatu pihak atau menetap suatu tempat, artinya Tuhan tidak menempati dan membutuhkan ruang dan waktu;
2. Tuhan itu esa dan tidak dapat dilihat oleh kasat mata;
3. Tuhan adalah ruh;
2. Tentang Penciptaan Alam.
Syamsuddin al-Sumatrani memandang penciptaan terjadi melalui tingkatantingkatan, dimana penciptaan (pengaliran) bermula dari zat yang mutlak dan sampai kepada tingkat ketujuh. Sebagaimana penjelasan dibawah ini:
1. Tingkat ahadiyyah (tingkat paling atas), yang merupakan tingkat la ta’ayyun (tanpa pembeda-beda);
Pada tingkat ini, zat yang mutlak masih berada dalam keadaan semula yaitu tingkat masih bebas atau belum memiliki hubungan dari apapun. Pada tingkat ini sudah ada suatu daya yang berupa pengetahuan (‘ilm) dan belum ada pembedaan.
2. Tingkat wahdah (tingkat kedua) yaitu tingkat pembeda-pembeda yang pertama (ta’ayyum awwal);
Pada tingkat ini, zat Tuhan sadar akan diriNya dan memiliki pengetahuan segala daya yang terpendam pada diriNya sebagai kesatuan. Artinya zat Tuhan tahu bahwa hanya dirinya sendiri yang ada, tiada yang lain kecuali Dia. Dia mengetahui bahwa Ia mempunyai daya untuk menjelmakan dariNya. Sedangkan yang terpendam adalah pengetahuan (ilm), eksistensi (wujud), pengamatan (syuhud), dan cahaya (nur). Proses wahdah adalah pangkat, terjadi kepemilikan diri, dan zat kepemilikan diri menimbulkan rindu (‘isyq) setelah rindu terciptalah cahaya pertama. Artinya penjelmaan pertama ini sebagai pengalir ada dari wahdahnya.
Penjelmaan terjadi menjadi dua, pertama penjelmaan terjadi dalam diri zat yang mutlak, sifat abadi; Dan kedua, penjelmaan terjadi di luar dari zat yang mutlak, dan sifatnya dapat dilihat;
3. Tahap wahidiyyah (tingkat ketiga) atau tingkat perbedaan yang kedua (ta’ayyun tsani);
Pada tingkat ini, kesatuan terdiri dari hal jamak. Jamak yang dimaksud adalah sesuatu yang dikenal sebagai hasil dari penelitian darinya sendiri, yaitu dari potensi (sebagai daya yang hadir terpendam) menjadi nyata (hadir, dalam kesatuan). Kejamakan ini ditentukan oleh a’yuun, sifat al-nama.
Demikianlah kejamakan itu sebagai yang dikenal hadir di dalam pengetahuan dan disebut yan tabitaí (realitaas yang terpendam). Realitas terpendam ini adalah hakikat segala sesuatu yang masih memerlukan ada dari realitas yang tertinggal, sebab hakikat yang terpendam itu adalah tiada.
4. Tahap alam arwah (taham keempat) adalah pangkat segala nyawa, baik nyawa manusia, nyawa binatang, dan lainnya;
5. Tahap alam mitsal (tahap kelima) adalah pangkat segala rupa atau dunia ibarat;
6. Tahap alam ajsam/ raya (tahap keenam) yaitu pangkat segala tubuh atau dunia ibarat;
7. Tahap alam insan (tahap ketujuh) adalah pangkat segala manusia atau disebut pangkat manusia sempurna (alam al-Insan al-Kamil);
3. Tentang Alam dan Manusia.
Pemikiran tentang alam dan manusia terpusat atas pandangan al-Sumaterani pada ungkapan ma siwa Allah Swt(apa saja selain Allah), dimana Allah Swt adalah satusatunya, sedangkan apapun selain Allah Swt termasuk dalam kategori alam. Alam dalam pandangan al-Sumaterani terbagi atas dua.
Pertama alam syahadah yaitu alam yang dapat ditangkap oleh panca indera, baik yang di bumi maupun di langit;
Kedua alam gaib yaitu alam yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera dimanapun keberadaannya, seperti malaikat, jin, dan ruh manusia.
4. Tentang Alam Arwah dan Alam Mitsal.
Tajalli Tuhan yang ketiga tidak lagi berlangsung dalam diriNya, tapi pada bukan diriNya (fi ghayrih). Ini berarti bahwa Tuhan haruslah menciptakan alam. Menurutnya, penciptaan alam oleh Tuhan berawal dengan penciptaan makhluk pertama. Makhluk pertama adalah nur (cahaya), disebut juga dengan nama nur Muhammad, ruh Muhammad, akal, dan al-Qalam al-A’la (pena tertinggi).
Segenap makhluk atau alam adalah berasal dari cahaya Tuhan, tetapi derajat diantara semua makhluk itu dibedakan. Nur Muhammad adalah makhluk yang memiliki derajat tertinggi. Perlu diketahui pula, bahwa ruh atau nur Muhammad di ciptakan oleh Tuhan bersama dengan arwah, dan masuk dalam kategori alam arwah, yakni dengan meliputi para malaikat, jin, setan, iblis, ruh manusia, ruh binatang, dan ruh tumbuh-tumbuhan.
5. Tentang Alam Ajsam.
Alam Ajsam adalah alam yang mampu ditangkap oleh panca indra. Nama lain dari alam ajsam (tubuh-tubuh materi) yaitu alam syahadah (kesaksian atau yang disaksikan), dan alam mulk. Alam ajsam berada pada martabat keenam dari tujuh martabat wujud.
6. Tentang Alam Manusia.
Manusia martabat ketujuh dari wujud Tuhan, disebut dengan kata syay’ jami’ dan dilihat dari unsur lahiriahnya (manusia kulit atau al-insan al-basyari) terlihat unsur tanah, air, udara, dan api. Sedangkan dilihat dari segi batiniah terdiri dari,
1) wujud, yang dimaksud adalah zat;
2) ‘ilm, yang dimaksud adalah sifat-sifat;
3) nur, yang dimaksud adalah nama-nama; dan
4) syuhud, yang dimaksud adalah perbuatan-perbuatan.
Sehingga manusia secara ruhani adalah hakiki sebagaiman Tuhan memiliki unsur tersebut. Akan tetapi, semuanya yang dimiliki oleh manusia adalah ciptaan, pemberian, atau pinjaman dari Tuhan, sebagai wadah tajalli Tuhan dan sifat manusia itu sendiri hakikatnya fana (muhdas).
Walaupun mengikuti aliran yang sama, namun ada perbedaan kentara antara guru dan murid ini. Hamzah al-Fansuri adalah seorang sufi pencari Tuhan, yang mencoba melakukan pencarian Tuhan karena didorong oleh batinnya.
Sedangkan, Syamsuddin al-Sumatrani seorang ahli sufi dan juga filosuf lebih merasakan kebuTuhan mengenali hakikat dari segala sesuatu, serta mengetahui kesatuan yang tersembunyi. Syamsuddin al-Sumatrani berpandangan bahwa usaha mengenal Tuhan harus dibimbing oleh guru yang sempurna karena bila tidak maka akan terjerumus dalam kesesatan.
Syaikh Syamsuddin ibn Abdullah al-Sumaterani (w. 1630 M) dikenal dengan nama Syamsuddin al-Sumaterani atau Syamsuddin Pasai. Syamsuddin al-Sumaterani hidup di Aceh antara akhir abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-17 pada masa Sultan Iskandar Muda (w. 1045H/ 1639 M). Dalam karya S.M.N. Al-Attas, Syamsuddin al-Sumaterani wafat pada 1040 H/ 1630 M.
Syamsuddin al-Sumaterani adalah penganut mazhab Ibnu al-Arabi yaitu paham wahdat al-wujud atau wujudiyah, sekaligus murid Hamzah al-Fansuri. Syamsuddin al-Sumaterani merupakan orang penting istana yaitu sebagai kepala penasehat raja dengan gelar syaikh al-Islam. Syamsuddin al-Sumaterani terkenal sebagai seorang ahli ilmu tasuwuf, fasih berbicara bahasa Arab, dan alim dalam segala ilmu.
Paham wujudiyah Syamsuddin al-Sumaterani kemudian bertentangan dengan paham Nuruddin al-Raniri. Maka oleh Nuruddin al-Raniri dianggap sebagai ajaran menyesatkan. Akhirnya atas perintah Sultan Iskandar Tsani (w. 1641 M) karya-karyanya dalam bahasa Arab dan Melayu dibakar dan dimusnahkan.
Akan tetapi, terdapat beberapa kitab yang dapat diselamatkan yaitu kitab mir’at al-Mu’minin, syarah ruba’i Hamzah Fansuri, jawahir al-Haqaiq, mir’at al-Mukminin, mir’at al-Iman, syarah mi’ratul qulb, kitab al-Martabah, dan kitab al-Harakat. Selain itu Syamsuddin al-Sumaterani merupakan pengikut dari tarekat qadiriyah, dan juga dikenal sebagai pemikir yang baik.
Pemikiran Kalam Syamsuddin al-Sumaterani.
1. Tentang Tuhan.
Syamsuddin al-Sumatrani memandang perlu mentasybihkan sekaligus mentanzihkan Tuhan. Sebagaimana terkandung makna bahwa di samping adanya Tuhan, diakui adanya wujud alam yang merupakan mitsalnya Tuhan (mirip dengan Tuhan). Walau mitsal yang dimaksud tidak sama atau tidak sebanding dengan Tuhan itu sendiri. Syamsuddin al-Sumaterani memandang Tuhan sebagimana berikut:
1. Tuhan adalah al-Qadim dan al-Baqa’, bukan baru, al-‘Ard, al-Jisim serta tidak dapat ditentukan oleh suatu pihak atau menetap suatu tempat, artinya Tuhan tidak menempati dan membutuhkan ruang dan waktu;
2. Tuhan itu esa dan tidak dapat dilihat oleh kasat mata;
3. Tuhan adalah ruh;
2. Tentang Penciptaan Alam.
Syamsuddin al-Sumatrani memandang penciptaan terjadi melalui tingkatantingkatan, dimana penciptaan (pengaliran) bermula dari zat yang mutlak dan sampai kepada tingkat ketujuh. Sebagaimana penjelasan dibawah ini:
1. Tingkat ahadiyyah (tingkat paling atas), yang merupakan tingkat la ta’ayyun (tanpa pembeda-beda);
Pada tingkat ini, zat yang mutlak masih berada dalam keadaan semula yaitu tingkat masih bebas atau belum memiliki hubungan dari apapun. Pada tingkat ini sudah ada suatu daya yang berupa pengetahuan (‘ilm) dan belum ada pembedaan.
2. Tingkat wahdah (tingkat kedua) yaitu tingkat pembeda-pembeda yang pertama (ta’ayyum awwal);
Pada tingkat ini, zat Tuhan sadar akan diriNya dan memiliki pengetahuan segala daya yang terpendam pada diriNya sebagai kesatuan. Artinya zat Tuhan tahu bahwa hanya dirinya sendiri yang ada, tiada yang lain kecuali Dia. Dia mengetahui bahwa Ia mempunyai daya untuk menjelmakan dariNya. Sedangkan yang terpendam adalah pengetahuan (ilm), eksistensi (wujud), pengamatan (syuhud), dan cahaya (nur). Proses wahdah adalah pangkat, terjadi kepemilikan diri, dan zat kepemilikan diri menimbulkan rindu (‘isyq) setelah rindu terciptalah cahaya pertama. Artinya penjelmaan pertama ini sebagai pengalir ada dari wahdahnya.
Penjelmaan terjadi menjadi dua, pertama penjelmaan terjadi dalam diri zat yang mutlak, sifat abadi; Dan kedua, penjelmaan terjadi di luar dari zat yang mutlak, dan sifatnya dapat dilihat;
3. Tahap wahidiyyah (tingkat ketiga) atau tingkat perbedaan yang kedua (ta’ayyun tsani);
Pada tingkat ini, kesatuan terdiri dari hal jamak. Jamak yang dimaksud adalah sesuatu yang dikenal sebagai hasil dari penelitian darinya sendiri, yaitu dari potensi (sebagai daya yang hadir terpendam) menjadi nyata (hadir, dalam kesatuan). Kejamakan ini ditentukan oleh a’yuun, sifat al-nama.
Demikianlah kejamakan itu sebagai yang dikenal hadir di dalam pengetahuan dan disebut yan tabitaí (realitaas yang terpendam). Realitas terpendam ini adalah hakikat segala sesuatu yang masih memerlukan ada dari realitas yang tertinggal, sebab hakikat yang terpendam itu adalah tiada.
4. Tahap alam arwah (taham keempat) adalah pangkat segala nyawa, baik nyawa manusia, nyawa binatang, dan lainnya;
5. Tahap alam mitsal (tahap kelima) adalah pangkat segala rupa atau dunia ibarat;
6. Tahap alam ajsam/ raya (tahap keenam) yaitu pangkat segala tubuh atau dunia ibarat;
7. Tahap alam insan (tahap ketujuh) adalah pangkat segala manusia atau disebut pangkat manusia sempurna (alam al-Insan al-Kamil);
3. Tentang Alam dan Manusia.
Pemikiran tentang alam dan manusia terpusat atas pandangan al-Sumaterani pada ungkapan ma siwa Allah Swt(apa saja selain Allah), dimana Allah Swt adalah satusatunya, sedangkan apapun selain Allah Swt termasuk dalam kategori alam. Alam dalam pandangan al-Sumaterani terbagi atas dua.
Pertama alam syahadah yaitu alam yang dapat ditangkap oleh panca indera, baik yang di bumi maupun di langit;
Kedua alam gaib yaitu alam yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera dimanapun keberadaannya, seperti malaikat, jin, dan ruh manusia.
4. Tentang Alam Arwah dan Alam Mitsal.
Tajalli Tuhan yang ketiga tidak lagi berlangsung dalam diriNya, tapi pada bukan diriNya (fi ghayrih). Ini berarti bahwa Tuhan haruslah menciptakan alam. Menurutnya, penciptaan alam oleh Tuhan berawal dengan penciptaan makhluk pertama. Makhluk pertama adalah nur (cahaya), disebut juga dengan nama nur Muhammad, ruh Muhammad, akal, dan al-Qalam al-A’la (pena tertinggi).
Segenap makhluk atau alam adalah berasal dari cahaya Tuhan, tetapi derajat diantara semua makhluk itu dibedakan. Nur Muhammad adalah makhluk yang memiliki derajat tertinggi. Perlu diketahui pula, bahwa ruh atau nur Muhammad di ciptakan oleh Tuhan bersama dengan arwah, dan masuk dalam kategori alam arwah, yakni dengan meliputi para malaikat, jin, setan, iblis, ruh manusia, ruh binatang, dan ruh tumbuh-tumbuhan.
5. Tentang Alam Ajsam.
Alam Ajsam adalah alam yang mampu ditangkap oleh panca indra. Nama lain dari alam ajsam (tubuh-tubuh materi) yaitu alam syahadah (kesaksian atau yang disaksikan), dan alam mulk. Alam ajsam berada pada martabat keenam dari tujuh martabat wujud.
6. Tentang Alam Manusia.
Manusia martabat ketujuh dari wujud Tuhan, disebut dengan kata syay’ jami’ dan dilihat dari unsur lahiriahnya (manusia kulit atau al-insan al-basyari) terlihat unsur tanah, air, udara, dan api. Sedangkan dilihat dari segi batiniah terdiri dari,
1) wujud, yang dimaksud adalah zat;
2) ‘ilm, yang dimaksud adalah sifat-sifat;
3) nur, yang dimaksud adalah nama-nama; dan
4) syuhud, yang dimaksud adalah perbuatan-perbuatan.
Sehingga manusia secara ruhani adalah hakiki sebagaiman Tuhan memiliki unsur tersebut. Akan tetapi, semuanya yang dimiliki oleh manusia adalah ciptaan, pemberian, atau pinjaman dari Tuhan, sebagai wadah tajalli Tuhan dan sifat manusia itu sendiri hakikatnya fana (muhdas).
Walaupun mengikuti aliran yang sama, namun ada perbedaan kentara antara guru dan murid ini. Hamzah al-Fansuri adalah seorang sufi pencari Tuhan, yang mencoba melakukan pencarian Tuhan karena didorong oleh batinnya.
Sedangkan, Syamsuddin al-Sumatrani seorang ahli sufi dan juga filosuf lebih merasakan kebuTuhan mengenali hakikat dari segala sesuatu, serta mengetahui kesatuan yang tersembunyi. Syamsuddin al-Sumatrani berpandangan bahwa usaha mengenal Tuhan harus dibimbing oleh guru yang sempurna karena bila tidak maka akan terjerumus dalam kesesatan.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang biografi Syamsuddin Al-Sumaterani dan karya Syamsuddin Al-Sumaterani serta pemikiran kalam Syamsuddin Al-Sumaterani. Sumber buku Ilmu Kalam Kelas XII MA Kementerian Agama Republik Indonesia, 2016. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.