Selasa, 20 Februari 2018

Pengertian Mu’tazilah, Tokoh Aliran Mu’tazilah dan Doktrin Ajaran Aliran Mu’tazilah

Pengertian Mu’tazilah.
Perkataan Mu’tazilah berasal dari kata i’tizal yang artinya memisahkan diri, pada mulanya nama ini diberikan oleh orang dari luar Mu’tazilah karena pendirinya, Washil bin Atha’, tidak sependapat dan memisahkan diri dari gurunya, Hasan al-Bashri. Dalam perkembangan selanjutnya, nama ini kemudian disetujui oleh pengikut Mu’tazilah dan digunakan sebagai nama dari bagi aliran teologi mereka.

Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha’ berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik.

Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah).

Aliran m’tazilah merupakan salah satu aliran teologi dalam islam yang dapat dikelompokkan sebagai kaum rasionalis Islam

Tokoh Aliran Mu’tazilah.
1) Washil bin Atha’ lahir di Madinah, pelopor ajaran ini.
2) Abu Huzail al-Allaf (751-849 M), penyusun 5 ajaran pokoq Muktazilah.
3) Al-Nazzam murid Abu Huzail al-Allaf.
4) Abu Hasyim al-Jubba’i (849-915 M).

Doktrin Ajaran Aliran Mu’tazilah.

1) At-Tauḥid (Keesaan Allah)
Meyakini sepenuhnya hanya Allah Swt. yang Maha Esa. Tidak ada yang serupa dengan-Nya. Mereka menganggap konsep tauhid ini yang paling murni sehingga mereka senang disebut ahlut tauḥīd (pembela tauhid). Dalam mempertahankan paham keesaan Allah Swt., mereka meniadakan segala sifat Allah, yaitu bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat yang berdiri di luar Dzat-Nya. Kaum Mu’tazilah enggan mengakui adanya sifat Tuhan dalam pengertian sesuatu yang melekat pada Dzat Tuhan. Jika Tuhan dikatakan Maha Mengetahui maka itu bukan sifat-Nya tapi Dzat-Nya. Mu’tazilah juga meyakini bahwa al-Quran adalah mahluk.

2) Al-‘Adl (Keadlilan Tuhan)
Paham keadilan yang dikehendaki Mu’tazilah adalah bahwa Allah Swt. tidak menghendaki keburukan, tidak menciptakan perbuatan manusia dan manusia dapat mengerjakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-laranganNya dengan qudrah (kekuasaan) yang ditetapkan Allah Swt. pada diri manusia itu. Allah tidak memerintahkan sesuatu kecuali menurut apa yang dikehendakiNya. Ia hanya menguasai kebaikan-kebaikan yang diperintahkan-Nya dan tidak tahu menahu (bebas) dari keburukan-keburukan yang dilarang-Nya.

Dengan pemahaman demikian, maka tidaklah adil bagi Allah Swt. seandainya Ia menyiksa manusia karena perbuatan dosanya, sementara perbuatan dosanya itu dilakukan karena diperintah Tuhan. Tuhan dikatakan adil jika menghukum orang yang berbuat buruk atas kemauannya sendiri.

3) Al-Wa’d wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman)
Al-wa’du wa al-wa’īd (janji dan ancaman), bahwa wajib bagi Allah Swt. untuk memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam surga, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’īd) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam neraka, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah Swt. untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah.

4) Al-Manzilah bain al-Manzilatain (Posisi diantara dua tempat).
Adalah suatu tempat antara surga dan neraka sebagai konsekwensi dari pemahaman yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar adalah fasiq, tidak dikatakan beriman dan tidak pula dikatakan kafir, dia tidak berhak dihukumkan mukmin dan tidak pula dihukumkan Kafir.

5) Amar Ma’ruf  dan Nahi Munkar.
Dalam pandangan Mu’tazilah, dalam keadaan normal pelaksanaan al-amru bil ma’ruf wan nahyu ‘anil munkar itu cukup dengan seruan saja, tetapi dalam keadaan tertentu perlu kekerasan.

Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang pengertian Mu’tazilah, tokoh aliran Mu’tazilah dan doktrin ajaran aliran Mu’tazilah. Sumber buku Siswa Kelas X MA Ilmu Kalam Kementerian Agama Republik Indonesia, 2014. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.