Minggu, 06 Mei 2018

Akal dan Wahyu Menurut Aliran Mu’tazilah, Aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah


A. Pengertian Akal dan Wahyu.
1. Akal.
Akal secara lughawi memiliki banyak makna, sehingga kata al ‘aql sering disebut sebagai lafazh musytarak, yakni kata yang memiliki banyak makna. Dalam kamus bahasa Arab Al-munjid Fii Al-lughah Wa’al A’lam, dijelaskan bahwa ‘aqala memiliki makna adraka (mencapai, mengetahui), fahima (memahami), tadarabba wa tafakkara (merenung dan berfikir). Kata al-‘aqlu sebagai mashdar (akar kata) juga memiliki arti “nurun nuhaniyyun bihi tudriku al-nafsu ma la tudrikuhu bi al-hawas”, yaitu cahaya ruhani yang dengannya seseorang dapat mencapai, mengetahui sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh indera.  Al-‘aql juga diartikan al-qalb, hati nurani atau hati sanubari.

Menurut Imam Al-ghazali didalam kitabnya Ihya’ ‘Ulumuddin mendefinisikan bahwa akal adalah sumber ilmu, tempat terbit dan dasar ilmu. Ilmu itu berjalan dari padanya seperti jalannya buah dari pohon, cahaya dari matahari, dan penglihatan dari mata.

2. Wahyu.
Menurut Muhammad Abduh dalam Risalatut Tauhid berpendapat bahwa wahyu adalah pengetahuan yang di dapatkan oleh seseorang dalam dirinya sendiri disertai keyakinan bahwa semua itu datang dari Allah Swt, baik melalui perantara maupun tanpa perantara. Baik menjelma seperti suara yang masuk dalam telinga ataupun lainnya. Dalam Islam wahyu atau sabda Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhaammad Saw terkumpul semuanya dalam Al-Qur’an.

B. Akal dan Wahyu Menurut Aliran Kalam.
1) Menurut Aliran Mu’tazilah.
Bahwa sebelum datang wahyu, akal dapat dijadikan pedoman dalam menentukan apa yang baik dan apa yang buruk, sehingga melakukan penalaran adalah wajib, karena dengan penalaran yang mendalam dapat mengetahui kewajiban-kewajiban. Dari empat masalah tersebut di atas, bagi aliran Mu’tazilah dapat diketahui melalui akal.

2) Menurut Aliran Asy’ariyah.
Imam Asy’ari menjelaskan bahwa, wahyu lah yang menentukan baik dan buruk, menentukan kewajiban terhadap Tuhan dan kewajiban melaksanakan yang baik dan menjauhi yang buruk. Akal tidak berperan dalam hal tersebut, sehingga kalau dikatakan bohong itu adalah buruk karena wahyu lah yang menetapkannya.

3) Aliran Maturidiyah.
Antara Abu Mansur dengan al-Bazdawi berbeda. Abu Mansur menjelaskan bahwa, Akal dapat mengetahui Tuhan, baik dan buruk serta mengetahui kewajiban terhadap Tuhan, akan tetapi wahyu lah yang menetapkannya. Begitu pula tidak semua yang baik dan buruk diketahui akal sehingga sangat diperlukan wahyu. Termasuk menjelaskan kewajiban melaksanakan yang baik dan menjauhi yang buruk. Sedangkan al-Bazdawi berpendapat bahwa, semua pengetahuan dapat dicapai oleh akal sedang kewajiban-kewajiban diketahui melalui wahyu.

Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang akal dan wahyu menurut aliran Mu’tazilah, aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah. Sumber buku Ilmu Kalam Kelas X MA Kementerian Agama Republik Indonesia, 2014. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.