Senin, 19 Agustus 2019

Persamaan dan Perbedaan Zakat, Pajak, dan Wakaf


Zakat adalah ajaran agama sekaligus kewajiban dari Tuhan. Ada aturan ketentuan tertentu dimana seseorang harus mengeluarkan zakat dari harta-harta tertentu. Namun, pajak juga merupakan keharusan seseorang untuk mengeluarkan sebagian dari hartanya untuk diberikan kepada pemegang otoritas. Lantas, apakah pajak dapat disamakan dengan zakat? Ataukah, pajak bisa menggantikan kewajiban zakat? Begitu pula sebaliknya, apakah zakat dapat menggantikan kewajiban pajak?

Abdullah bin Muhammad al-Thayyar mengatakan bahwa zakat adalah kewajiban dari Allah swt. yang harus dikeluarkan terkait harta tertentu dan diserahkan kepada orang-orang tertentu, pada masa tertentu, untuk mendapatkan ridha Allah Swt. Secara moril, tujuan zakat adalah untuk membersihkan diri dan harta. Berbeda halnya dengan pajak yang dipahami sebagai beban kewajiban yang ditetapkan oleh pemerintah, dikumpulkan, dan dipergunakan untuk menutupi anggaran umum. Dana pajak digunakan untuk memenuhi tujuan-tujuan perekonomian, kemasyarakatan, politik, serta tujuan-tujuan negara lainnya. Al-Thayyar melihat perbedaan zakat dan pajak dari segi pembuatnya. Zakat ditetapkan oleh agama dan pajak ditetapkan oleh negara.

Perbedaan penetapan aturan zakat dan pajak itu, al-Thayyar melihat bahwa zakat bernilai ibadah (taqarrub) kepada Allah dan pajak tidak bernilai ibadah. Sebab, pajak hanyalah kewajiban dari negara. Konsekuensi lebih lanjut tampak pada kadar seberapa besar harus dikeluarkan. Kadar zakat ditentukan oleh syari’at dan karenanya tak ada peluang bagi hawa nafsu untuk mengubahnya. Pajak yang ditetapkan oleh pemerintah sangat terbuka untuk berubah-ubah sesuai kepentingan negara dan maslahat pribadi dan masyarakat yang ingin dicapai.

Al-Thayyar juga melihat bahwa zakat harus disalurkan kepada golongangolongan tertentu, yang disebut mustahiq zakat. Di luar delapan golongan mustahiq zakat ini tidak berhak menerima harta zakat. Berbeda halnya dengan pajak yang terkumpul dalam kas negara dan dapat dibelanjakan menurut kepentingan pemerintah.

Zul Ashfi berpendapat bahwa masyarakat sering menyamakan zakat dan pajak. Cara pandang demikian tidak sepenuhnya salah tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Persamaannya zakat dan pajak sama-sama perintah untuk mengeluarkan sebagian harta, dijalankan menurut aturan tertentu. Selain itu, besaran pajak dan zakat ditentukan menurut prosentase tertentu dan berlaku untuk orang-orang yang memenuhi syarat serta sama-sama berguna untuk membangun kesejahteraan masyarakat. Perbedaannya, Zul Ashfi mengatakan bahwa zakat dapat dibayarkan kepada amil zakat (lembaga penyalur dan pengelola zakat) atau dibayarkan langsung kepada 8 golongan orang yang berhak. Sedangkan pajak harus dibayarkan kepada kantor pelayanan pajak dan lembaga-lembaga lain yang ditunjuk oleh pemerintah.

Perbedaan lain antara pajak dan zakat adalah waktu pembayarannya. Zakat fitrah dibayarkan hanya pada bulan Ramadhan dan zakat harta dibayarkan pada saat telah mencapai nisab dan dimiliki selama setahun. Artinya, waktu pembayaran zakat lebih fleksibel dan sepanjang tahun. Sedangkan waktu pembayaran pajak negara adalah satu tahun pembukuan. Hanya dilakukan pada bulan tertentu yang sudah terhitung satu tahun sejak pembayaran sebelumnya. Yang menarik dari pendapat Zul Ashfi adalah perbedaan alat pembayaran pajak dan zakat. Zakat boleh dibayar dengan uang tunai ataupun bahan pokok makanan. Sedangkan pajak umumnya dibayar menggunakan uang tunai. Seseorang dapat mengeluarkan zakat dengan membayarkan gandum, beras, dan bahan pokok lainnya. Tetapi kantor pajak hanya menerima uang tunai. Namun, ada pendapat lain dari ulama Nahdhatul Ulama. Pemaparan ini disampaikannya di Jakarta pada Seminar Nasional Optimalisasi Peran Zakat di Era Ekonomi Disruptif yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Ekonomi dan Bisnis Syariah Universitas Indonesia menginisiasi penggabungan institusi zakat dengan pajak.

Inisiatif untuk menggabung pajak dan zakat adalah langkah luar biasa. Yang terpenting adalah pengelolaan zakat yang perlu ditopang oleh teknologi canggih, aparatur yang kuat mulai dari aparat administrasi, pengawas, pemeriksa hingga penegak hukum. Langkah ini lanjutnya bisa dilakukan dengan menginisiasi revisi undang-undang tentang zakat sebagai bagian penerimaan negara di samping pajak. Ia berharap undang-undang tentang zakat mampu mengarahkan institusi pengelola zakat bisa bekerja dengan profesional.

Sekalipun muncul wacana zakat dan pajak memungkinkan untuk dikelola secara bersamaan, tetapi harta wakaf merupakan perkara lain lagi. Wakaf adalah sejenis pemberian bernilai sunah, bukan kewajiban dari agama maupun negara. Wakaf adalah amal sukarela. Tujuan wakaf adalah menahan barang yang diwakafkan itu agar tidak diwariskan kepada ahli waris, tidak dijual maupun dihibahkan, tidak digadaikan maupun disewakan.

Apabila pendayagunaan harta zakat tergantung pada mustahiq zakat, harta pajak sesuai kepentingan negara, maka pendayagunaan wakaf itu sesuai orang yang memberikan harta wakaf. Jadi, yang memberi harta wakaf punya hak penuh untuk menentukan tujuan dari hartanya yang sudah diwakaf, dan penerima harta wakaf tidak boleh menggunakannya untuk kepentingan yang berseberangan dengan pemberi wakaf (waqif). Hal lain yang membedakan wakaf dari pajak dan zakat adalah soal takaran/ kadar, serta waktu penyerahan. Apabila zakat dan pajak memiliki kadar-kadar tertentu, menyangkut barang tertentu, dan waktu yang tertentu, maka harta wakaf tidak memiliki batas-batasan semacam itu. Wakaf sangat bebas menyangkut barang apapun, dan boleh dikeluarkan kapanpun, serta dalam kadar berapapun.

Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang persamaan dan perbedaan Zakat, Pajak, dan Wakaf. Sumber Pendalaman Materi Fikih Modul 3 Penyusun: Muh. Shabir Umar Kementerian Agama Republik Indonesia JAKARTA 2019. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.