Kamis, 09 April 2020

Pengertian Al-Maqamat dan Tingkatan Al-Maqamat (Tasawuf)

A. Pengertian Al-Maqamat
Definisi Al maqamat secara etimologis adalah bentuk jamak dari kata maqam, yang berarti kedudukan spiritual (English : Station). Maqam arti dasarnya adalah tempat berdiri, dalam terminologi sufistik berarti tempat atau martabat seseorang hamba di hadapan Allah Swt pada saat dia berdiri menghadap kepada-Nya.

Menurut Al Qusyairi (w. 465 H) maqam adalah tahapan adab (etika) seorang hamba dalam rangka wushul (sampai) kepadaNya dengan berbagai upaya, diwujudkan dengan suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas. Dalam pandangan Abu Nashr Al Sarraj (w. 378 H) yaitu kedudukan atau tingkatan seorang hamba dihadapan Allah Swt yang diperoleh melalui serangkaian pengabdian (‘ibadah), kesungguhan melawan hawa nafsu dan penyakit-penyakit hati (mujahadah), latihan-latihan spiritual (riyadhah) dan mengarahkan segenap jiwa raga semata-mata kepada Allah Swt.

B. Tingkatan Al-Maqamat
Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumudin membuat sistematika maqamat dengan taubat, sabar, faqir, zuhud, tawakal, mahabah, ma’rifat dan ridha.

1) Taubah
Dalam ajaran tasawuf konsep taubat dikembangkan dan memiliki berbagai macam pengertian. Secara literal taubat berarti kembali. Dalam perspektif tasawuf, taubat berarti kembali dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang, berjanji untuk tidak mengulanginya lagi dan kembali kepada Allah Swt.

Menurut Abu Nashr Al Sarraj taubah terbagi pada beberapa bagian.
Pertama, taubatnya orang-orang yang berkehendak (muridin), muta’arridhin, thalibin dan qashidin

Kedua, taubatnya ahli haqiqat (kaum khawwas).
Pada bagian ini para ahli haqiqat tidak ingat lagi akan dosa-dosa mereka karena keagungan Allah Swt telah memenuhi hati mereka dan mereka senantiasa berzikir kepadaNya.

Ketiga, taubat ahli ma’rifat (khusus al-khusus). Adapun taubatnya ahli ma’rifat yaitu berpaling dari segala sesuatu selain Allah Swt.

وَمَآ أُبَرِّئُ نَفْسِىٓ ۚ إِنَّ ٱلنَّفْسَ لَأَمَّارَةٌۢ بِٱلسُّوٓءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّىٓ ۚ إِنَّ رَبِّى غَفُورٌ رَّحِيمٌ

wamaa ubarri-u nafsii inna nnafsa la-ammaaratun bissuu-i illaa maa rahima rabbii inna rabbii ghafuurun rahiim

“ dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS. Yusuf [12]: 53)

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ تُوبُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحًا عَسَىٰ رَبُّكُمْ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمْ سَيِّـَٔاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّٰتٍ

yaa ayyuhaa ladziina aamanuu tuubuu ilaa laahi tawbatan nashuuhan 'asaa rabbukum an yukaffira 'ankum sayyi-aatikum wayudkhilakum jannaatin

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah …” (QS. At Tahrim [66]: 8).

2). Wara’
Kata wara’ secara etimologi berarti menghindari atau menjauhkan diri. Dalam perspektif tasawuf bermakna menahan diri hal-hal yang sia-sia, yang haram dan hal-hal yang meragukan (syubhat). Hal ini sejalan dengan hadis nabi, “Diantara (tanda) kebaikan ke-Islaman seseorang ialah meninggalkan sesuatu yang tidak penting baginya”.

Adapun 2 perkara yang wajib ditinggalkan dalam wara’ adalah :

a) Meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah dan terkait dengan hati (kesesatan, bid’ah, kefanatikan dan berlebih-lebihan)

b) Meninggalkan segala sesuatu yang terkait dengan syubhat, yang dikhawatirkan akan jatuh pada keharaman, dan meninggalkan kelebihan meskupun berupa bagian dari kehalalan.

2) Zuhud
Menurut Imam Ghazali, makna kata zuhud adalah mengurangi keinginan kepada dunia dan menjauh darinya dengan penuh kesadaran. Menurut Abu Bakr Muhammad saw Al-Warraq (w. 290/903 M ) kata zuhud mengandung tiga hal yang mesti ditinggalkan yaitu huruf z berarti zinah (perhiasan atau kehormatan), huruf h berarti hawa (keinginan), dan d menunjuk kepada dunya (materi). Dalam perspektif tasawuf, zuhud diartikan dengan kebencian hati terhadap hal ihwal keduniaan padahal terdapat kesempatan untuk meraihnya hanya karena semata-mata taat dan mengharapkan ridha Allah SWT. Inti dari zuhd adalah keteguhan jiwa, yaitu tidak merasa bahagia dengan kenikmatan dunia yang didapat, dan tidak bersedih dan putus asa atas kenikmatan dunia yang tidak didapat.

Menurut Syaikh Syihabuddin ada tiga jenis kezuhudan yaitu :
Pertama, Kezuhudan orang-orang awam dalam peringkat pertama.

Kedua, kezuhudan orang-orang khusus (kezuhudan dalam kezuhudan). Hal ini berarti berubahnya kegembiraan yang merupakan hasil daripada zuhud hanyalah kegembiraan akhirat, sehingga nafsunya benar-benar hanya dipenuhi dengan akhirat.

Ketiga, Kezuhudan orang-orang khusus dikalangan kaum khusus. Dalam peringkat ketiga ini adalah kezuhudan bersama Allah Swt. Hal ini hanyalah dikhususkan bagi para Nabi dan manusia suci. Mereka telah merasa fana’ sehingga kehendaknya adalah kehendak Allah Swt.

Sedangkan menurut Abu Nashr Al Sarraj ada tiga kelompok zuhud :
a) Kelompok pemula (mubtadiin), mereka adalah orang-orang yang kosong tangannya dari harta milik, dan juga kosong kalbunya.

b) Kelompok para ahli hakikat tentang zuhud (mutahaqqiqun fi Al zuhd). Kelompok ini dinyatakan sebagai orang-orang yang meninggalkan kesenangan-kesenangan jiwa dari apa-apa yang ada di dunia ini, baik itu berupa pujian dan penghormatan dari manusia.

c) Kelompok yang mengetahui dan meyakini bahwa apapun yang ada di dunia ini adalah halal bagi mereka, namun yakin bahwa harta milik tidak membuat mereka jauh dari Allah Swt dan tidak mengurangi sedikitpun kedudukan mereka, semuanya semata-mata karena Allah Swt.

 مَتَٰعُ ٱلدُّنْيَا قَلِيلٌ وَٱلْءَاخِرَةُ خَيْرٌ لِّمَنِ ٱتَّقَىٰ

 mataa'u ddunyaa qaliilun wal-aakhiratu khayrun limani ittaqaa

“… Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orangorang yang bertakwa…” (QS. An Nisa [4]: 77)

وَٱلَّذِينَ تَبَوَّءُو ٱلدَّارَ وَٱلْإِيمَٰنَ مِن قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِى صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِّمَّآ أُوتُوا۟ وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۚ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِۦ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ

walladziina tabawwauu ddaara wal-iimaana min qablihim yuhibbuuna man haajara ilayhim walaa yajiduuna fii shuduurihim haajatan mimmaa uutuu wayu'tsiruuna 'alaa anfusihim walaw kaana bihim khasasatun waman yuuqa syuhha nafsihi faulaa-ika humu lmuflihuun

“…dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apaapa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orangorang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung”. (QS. Al Hasyr [59]: 9)

4). Al Shabr
Al Sabr secara etimologi berarti tabah hati. Dalam Mu’jam Maqayis Al Lughah disebutkan bahwa kata sabar memiliki tiga arti yaitu menahan, sesuatu yang paling tinggi dan jenis bebatuan. Menurut terminologi adalah menahan jiwa dari segala apa tidak disukai baik itu berupa kesenangan dan larangan untuk mendapatkan ridha Allah Swt. Dalam perspektif tasawuf Al shabr berarti menjaga menjaga adab pada musibah yang menimpanya, selalu tabah dalam menjalankan perintah Allah Swt dan menjauhi segala laranganNya serta tabah menghadapi segala peristiwa. Sabar merupakan kunci sukses orang beriman. Sabar itu seperdua dari iman karena iman terdiri dari dua bagian. Setengahnya adalah sabar dan setengahnya lagi syukur baik itu ketika baha gia maupun dalam keadaan susah. Makna Al Shabr menurut ahli sufi pada dasarnya sama yaitu sikap menahan diri terhadap apa yang menimpanya.

Ibn ‘Ata’illah membagi sabar menjadi 3 macam sabar terhadap perkara haram, sabar terhadap kewajiban, dan sabar terhadap segala perencanaan (angan-angan) dan usaha. Sabar terhadap perkara haram adalah sabar terhadap hak-hak manusia. Sabar terhadap kewajiban adalah sabar terhadap kewajiban dan keharusan untuk menyembah kepada Allah Swt.

Segala sesuatu yang menjadi kewajiban ibadah kepada Allah Swt akan melahirkan bentuk sabar yang ketiga yaitu sabar yang menuntut saling untuk meninggalkan segala bentuk angan-angan kepada-Nya. Sabar bukanlah suatu maqam yang diperoleh melalui usaha manusia sendiri. Namun, sabar adalah suatu anugerah yang diberikan Allah Swt kepada salik dan orangorang yang dipilih-Nya. Maqam sabar itu dilandasi oleh keimanan yang sempurna terhadap kepastian dan ketentuan Allah Swt, serta menanggalkan segala bentuk perencanaan (angan-angan) dan usaha.

وَٱصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا بِٱللَّهِ ۚ وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلَا تَكُ فِى ضَيْقٍ مِّمَّا يَمْكُرُونَ

washbir wamaa shabruka illaa bilaahi walaa tahzan 'alayhim walaa taku fii dhayqin mimmaa yamkuruun

“bersabarlah (hai Muhammad SAW) dan Tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.” (QS. An Nahl [16]: 127)

Untuk lebih jelasnya berikut diketengahkan contoh Shabr

a) Sabar dalam menghadapi sesuatu yang menyakitkan seperti musibah, bencana, atau kesusahan. Adapun contohnya apa yang terjadi pada nabi Ayyub, beliau ditinggalkan oleh istri dan anak-anaknya tercinta meninggal dunia, kemudian ditambah lagi dengan harta bendanya yang melimpah habis karena tertimpa bencana.

b) Sabar dalam meninggalkan perbuatan maksiat. Adapun contohnya, sebagaimana yang terjadi pada nabi Yusuf, Allah SWT menguji kesabaran Yusuf dengan ujian yang lebih berat, yaitu rayuan Siti Zulaikha, seorang wanita cantik lagi terpandang. Namun, dengan kesabaran dan keteguhan iman, Nabi Yusuf pun mampu melewati ujian ini dengan selamat. Padahal, saat itu Yusuf pun menyukai Zulaikha, dan suasana pun sangat mendukung untuk melakukan maksiat.

c) Sabar dalam menjalankan ketaatan. Sedangkan contoh yang ketiga adalah kesabaran yang di miliki oleh nabi Ibrahim dan anaknya Ismail, beliau berdua dengan tetap sabar dan taat atas perintah Allah Swt, meskipun saat itu sang ayah akan menyembelih anaknya sendiri. Inilah bukti kesabaran dalam menjalani ketaatan atas perintah-Nya.

5). Syukur
Syukur secara terminology berasal dari kata bahasa Arab, syakara yang berarti membuka segala nikmat, yakni gambaran dalam benak tetang nikmat dan menampakkannya ke permukaan. Syukur berarti rasa terima kasih atas nikmat yang telah diberikan, sembari menggunakan nikmat tersebut di jalan yang diridhai Allah SWT. Syukur tersusun dari ilmu, hal, dan amal perbuatan. Ilmu berarti mengetahui nikmat yang diberikan dan pemberi nikmat. Hal berarti gembira atas nikmat yang telah diberikan.

Syukur dalam pandangan Ibn ‘Ata’illah terbagi menjadi 3 macam;

Pertama syukur dengan lisan, yaitu mengungkapkan secara lisan, menceritakan nikmat yang didapat.

Kedua, syukur dengan anggota tubuh, yaitu shukur yang diimplementasikan dalam bentuk ketaatan.

Ketiga, syukur dengan hati, yaitu dengan mengakui bahwa hanya Allah Swt Sang Pemberi Nikmat, segala bentuk kenikmatan yang diperoleh dari manusia semata-mata dari-Nya.

Dengan akal ini manusia dapat berpikir, berangan-angan, dan berkehendak. Sehingga manusia memiliki potensi untuk mengangan-angankan dan menginginkan suatu bentuk kenikmatan yang akan diberikan oleh Allah Swt. Hal inilah yang harus ditiadakan dalam pengejawantahan syukur.

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ

wa-idz ta-adzdzana rabbukum la-in syakartum la-aziidannakum wala-in kafartum inna 'adzaabii lasyadiid

“dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; «Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih».(QS. Ibrahim : 7)

6). Tawakkal
Tawakkal bermakna berserah diri. Tawakkal dalam tasawuf dijadikan washilah untuk memalingkan dan menyucikan hati manusia agar tidak terikat dan tidak ingin dan memikirkan keduniaan serta apa saja selain Allah Swt. Pada dasarnya makna atau konsep tawakkal dalam dunia tasawuf berbeda dengan konsep agama. Tawakkal menurut para sufi bersifat fatalis/majbur yakni menggantungkan segala sesuatu pada takdir dan kehendak Allah Swt. Syekh Abdul Qadir Jailany menyebut dalam kitabnya bahwa semua yang menjadi ketentuan Tuhan sempurna adanya, sungguh tidak berakhlak seorang jika ia meminta lebih dari yang telah ditentukan Allah Swt.

 وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّهُۥ مَخْرَجًا
وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُۥٓ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَٰلِغُ أَمْرِهِۦ ۚ قَدْ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَىْءٍ قَدْرًا

“… Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah Mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. At Thalaaq [65]: 2-3)

قُل لَّن يُصِيبَنَآ إِلَّا مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَىٰنَا ۚ وَعَلَى ٱللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ ٱلْمُؤْمِنُونَ

qul lan yushiibanaa illaa maa kataba laahu lanaa huwa mawlaanaa wa'alaa laahi falyatawakkali lmu'minuun

“ Katakanlah: «Sekali-kali tidak akan menimpa Kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung Kami, dan hanya kepada Allah orangorang yang beriman harus bertawakal.» (QS. At Taubah [9]: 51)

7). Ridha
Ridha berarti sebuah sikap menerima dengan lapang dada dan senang terhadap apapun keputusan Allah Swt kepada seorang hamba, meskipun hal tersebut menyenangkan atau tidak. Sikap ridha merupakan buah dari kesungguhan seseorang dalam menahan hawa nafsunya.

Imam Ghazali mengatakan bahwa hakikat ridha adalah tatkala hati senantiasa dalam keadaan sibuk mengingatnya. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa seluruh aktivitas kehidupan manusia hendaknya selalu berada dalam kerangka mencari keridhaan Allah Swt.

Orang yang ridha terhadap ketentuan dan kepastian Allah Swt, dia akan menjadikan Allah Swt sebagai penuntun dalam segala urusannya, dia akan berpegang teguh kepadaNya, dan yakin bahwa Dia akan menentukan yang terbaik bagi dirinya.

قَالَ ٱللَّهُ هَٰذَا يَوْمُ يَنفَعُ ٱلصَّٰدِقِينَ صِدْقُهُمْ ۚ لَهُمْ جَنَّٰتٌ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدًا ۚ رَّضِىَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا۟ عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ

qaala laahu haadzaa yawmu yanfa'u shshaadiqiina shidquhum lahum jannaatun tajrii min tahtihaa l-anhaaru khaalidiina fiihaa abadan radhiya laahu 'anhum waradhuu 'anhu dzaalika lfawzu l'azhiim

Allah berfirman: "Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. bagi mereka surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadapNya. Itulah keberuntungan yang paling besar”.(QS. Al Maaidah [5]: 119)

Untuk lebih jelasnya berikut diketengahkan contoh Ridha Segala sesuatu yang menimpa kita adalah kehendak-Nya. Tugas kita sebagai manusia hanyalah berusaha dan bertawakal kepada-Nya. Kita selayaknya senantiasa bersikap ridha kepada qadha dan qadarn-Nya walaupun terkadang pahit dan menyakitkan. Sikap ridha adalah cerminan kepaTuhan hamba kepada Penciptanya. Apapun bentuk pemberian-Nya merupakan yang terbaik untuk kita.

Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang pengertian al-maqamat dan tingkatan al-maqamat. Sumber buku Siswa Akidah Akhlak Kelas XI MA Kementerian Agama Republik Indonesia, 2015. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.