Minggu, 17 April 2016

Apa Kelebihan Ummu Muti'ah, Termasuk Wanita Pertama yang Masuk Surga?


Suatu ketika, Fatimah bertanya kepada Rasulullah. ''Siapakah wanita yang kelak pertama kali masuk surga?"

Rasulullah Saw menjawab: ”Wahai Fatimah, jika engkau ingin mengetahui perempuan pertama masuk surga, selain Ummul Mukminin, Dia adalah seorang wanita yang bernama Muti’ah”. Siti Fatimah terkejut. Ternyata bukan dirinya, seperti yang dibayangkannya. Mengapa justru orang lain, padahal dia adalah putri Rasulullah sendiri? 

Maka timbullah keinginan Fatimah untuk mengetahui siapakah gerangan wanita itu? Dan apakah yang telah di perbuatnya hingga dia mendapat kehormatan yang begitu tinggi? Setelah minta izin kepada suaminya, Ali Bin Abi Thalib, Fatimah berangkat mencari rumah kediaman Muti’ah.

Putranya yang masih kecil yang bernama Hasan diajak ikut serta. Ketika tiba di rumah Muti’ah, Siti Fatimah mengetuk pintu seraya memberi salam,

“Assalaamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalaam! Siapa di luar?” Terdengar jawaban yang lemah lembut dari dalam rumah. Suaranya cerah dan merdu. “

“Saya Fatimah, Putri Rasulullah,” sahut Fatimah kembali.

“Alhamdulillah, alangkah bahagia saya hari ini Fatimah, putri Rasululah, sudi berkunjung ke gubuk saya,” terdengar kembali jawaban dari dalam. Suara itu terdengar ceria dan semakin mendekat ke pintu.

“Sendirian, Fatimah?” Tanya seorang perempuan sebaya dengan Fatimah, Yaitu Muti’ah seraya membukakan pintu.

“Aku ditemani Hasan,” Jawab Fatimah. “Aduh maaf ya,” Kata Muti’ah, suaranya terdengar menyesal. "Saya belum mendapat izin dari suami saya untuk menerima tamu laki-laki.”  “Tapi Hasan kan masih kecil?” Jelas Fatimah.

“Mutiah menjawab bahwa Rasulullah Saw mengajarkan untuk tidak membolehkan seorang istri memasukkan laki-laki ke rumahnya, ketika suaminya tidak ada di rumah dan atau tanpa ijin suaminya. Meskipun kecil, Hasan adalah seorang laki-laki. Besok saja Anda datang lagi, ya? saya akan minta izin dulu kepada suami saya,” Kata Mutiah dengan menyesal.

Sambil menggeleng-gelengkan kepala , Fatimah pamit dan kembali pulang. Besoknya, Fatimah datang lagi ke rumah Muti’ah, kali ini ditemani oleh Hasan dan Husain.

Bertiga mereka mendatangi rumah Muti’ah. Setelah memberi salam dan dijawab gembira, masih dari dalam rumah Muti’ah bertanya: “Kau masih ditemani oleh Hasan, Fatimah? Suami saya sudah memberi izin.”  dan membuka pintu “Ha? Kenapa kemarin tidak bilang? Yang dapat izin cuma Hasan, dan Husain belum. Terpaksa saya tidak bisa menerimanya juga, “ 

Dengan perasaan menyesal, Muti’ah kai ini juga menolak. Hari itu Fatimah gagal lagi untuk bertemu dengan Muti’ah. Dan keesokan harinya Fatimah kembali lagi, mereka disambut baik oleh perempuan itu dirumahnya.

Keadaan rumah Mutiah sangat sederhana, tak ada satupun yang istimewa menghiasi rumah itu. Namun, semuanya teratur rapi. Tempat tidur yang terbuat dengan kasar juga terlihat bersih, alasnya yang putih, dan baru dicuci. Bau dalam ruangan itu harum dan sangat segar, membuat orang betah tinggal di rumah.

Fatimah sangat kagum melihat suasana yang sangat menyenangkan itu, sehngga Hasan dan Husain yang biasanya tak begitu betah betah berada di rumah orang, kali ini nampak asyik bermain-main.

“Maaf ya, saya tak bisa menemani Fatimah duduk dengan tenang, sebab saya harus menyiapkan makan buat suami saya,” kata Mutiah sambil mondar mandir dari dapur ke ruang tamu. 

Mendekati tengah hari , masakan itu sudah siap semuanya, kemudian ditaruh di atas nampan. Mutiah mengambil cambuk, yang juga ditaruh di atas nampan. “Suamimu bekerja dimana?” Tanya Fatimah “Di ladang,” jawab Muti’ah. “Pengembala?” Tanya Fatimah lagi. “Bukan. Bercocok tanam.” “Tapi, mengapa kau bawakan cambuk?” Tanya Fatimah “Oh, itu?” Sahut Mutiah dengan tersenyum sambil menjawab.

"Cambuk itu kusediakan untuk keperluan lain. Maksudnya begini, kalau suami saya sedang makan, lalu kutanyakan apakah masakan saya cocok atau tidak? Kalau dia mengatakan cocok, maka tak akan terjadi apa-apa. Tetapi kalau dia bilang tidak cocok, cambuk itu akan saya berikan kepadanya, agar punggung saya dicambuknya, sebab berarti saya tidak bisa melayani suami dan menyenangkan hatinya.” 

“Apakah itu kehendak suamimu?” Tanya Fatimah keheranan. “Oh, bukan! Suami saya adalah seorang penuh kasih sayang. Ini semua adalah kehendakku sendiri, agar aku jangan sampai menjadi istri yang durhaka kepada suami Aku hanya mencari keridhaan dari suami, karena istri yang baik adalah istri yang patuh pada suami yang baik dan suami ridha kepada istrinya.” Mendengar penjelasan itu, Fatimah menggeleng-gelengkan kepala. 

Tak hanya itu, saat itu masih ada benda kipas dan kain kecil. “Buat apa benda ini Muthi’ah?” Muthi’ah tersenyam malu. Namun setelah didesak iapun bercerita. “Engkau tahu Fatimah, suamiku seorang pekerja keras memeras keringat dari hari ke hari. Aku sangat sayang dan hormat kepadanya. Begitu kulihat ia pulang kerja, cepat-cepat kusambut kedatangannya. Kubuka bajunya, kulap tubuhnya dengan kain kecil ini hingga kering keringatnya. Ia-pun berbaring ditempat tidur melepas lelah, lalu aku kipasi beliau hingga lelahnya hilang atau tertidur pulas” 

Kemudian ia meminta diri, pamit pulang. “Pantas kalau Muti’ah kelak menjadi seorang perempuan yang pertama kali masuk surga,” kata Fatimah dalam hati, di tengah perjalannya pulang, “Dia sangat berbakti kepada suami dengan tulus. Prilaku kesetiaan semacam itu bukanlah lambang perbudakan wanita oleh kaum lelaki, Tapi merupakan cermin bagi citra ketulusan dan pengorbanan kaum wanita yang harus dihargai dengan prilaku yang sama.”

Sungguh mulia Siti Muthi’ah, wanita yang taat kepada suaminya. maka tidaklah salah jika dia wanita pertama yang masuk surga.

Demikianlah sahabat bacaan madani kisah inspiratif tentang wanita pertama masuk surga. Semoga kisah ini menjadi contoh untuk isteri zaman sekarang, sebab wanita yang seperti Muti'ah sudah jarang ditemukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.