Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial artinya manusia membutuhkan orang lain dan lingkungan sosialnya sebagai sarana untuk bersosialisasi. Bersosialisasi disini berarti membutuhkan lingkungan sosial sebagai salah satu habitatnya maksudnya tiap manusia saling membutuhkan satu sama lainnya untuk bersosialisasi dan berinteraksi. Manusia pun berlaku sebagai makhluk sosial yang saling berhubungan dan keterkaitannya dengan lingkungan dan tempat tinggalnya. Manusia bertindak sosial dengan cara memanfaatkan alam dan lingkungan untuk menyempurnakan serta meningkatkan kesejahteraan hidupnya demi kelangsungan hidup sejenisnya. Namun potensi yang ada dalam diri manusia itu hanya mungkin berkembang bila ia hidup dan belajar di tengah-tengah manusia. Untuk bisa berjalan saja manusia harus belajar dari manusia lainnya.
Walaupun semua manusia memiliki kecenderungan untuk membangun kelompok, hidup secara bersama, akan tetapi tidak semua manusia mampu menempatkan diri di tengah komunitasnya dengan baik. Banyak orang yang tidak diterima dengan baik, bahkan terkadang ditolak oleh komunitas tempat dia berada. Sehingga, al-Qur’an pun mengajarkan kepada manusia, tentang kiat atau strategi agar bisa diterima orang lain dengan baik. Ajaran tersebut disebutkan dalam surat Ali ‘Imran : 159
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
Ayat ini turun setelah perang Uhud, di mana ketika itu umat Islam menderita kekalahan yang amat menyakitkan. Betapa tidak, saat kemenangan besar sudah berada di depan mata umat Islam. Akan tetapi, para sahabat yang merupakan pasukan pemanah dan ditugaskan menjaga pos di puncak bukit uhud melupakan pesan Rasullah Saw. Mereka tergiur melihat harta rampasan yang telah ditinggal oleh pasukan Quraisy. Akhirnya, mereka lari mengejar harta rampasan itu dan meninggalkan pos mereka, yang sebelumnya dilarang Rasulullah untuk ditinggalkan walau apapun yang terjadi. Maka, kemenangan yang sudah di depan mata, tiba-tiba berobah menjadi kekalahan, karena pasukan musuh menguasai pos pemanah yang telah ditinggalkan dan menghujani pasukan Islam dari atas bukit itu. Rasulullah pun mengalami luka serius di kepala dan kaki beliau.
Secara manusiawi, tentulah Rasulullah berhak marah kepada para bawahannya para sahabat yang tidak patuh kepada perintah beliau. Akan tetapi, Allah swt, menurunkan ayat ini untuk mengajarkan kepada beliau tentang sikap terbaik yang mesti beliau ambil. Sehingga, Rasulullah tetap diterima oleh para sahabat dan mereka tidak lari dan kecewa dengan sikap beliau serta tidak meninggalkan beliau.
Dalam ayat di atas, terdapat pelajaran tentang kiat agar diterima orang lain dengan baik. Kiat itu adalah;
Pertama, hendaklah selalu berkata lembut dan berlaku sopan. Bahkan, ketika berhadapan dengan orang-orang yang tidak disenangi sekalipun. Sikap lemah lembut inilah yang menjadi modal utama seseorang bisa diterima oleh orang lain. Bahkan, seorang yang kasar dan bengispun, jika dihadapi dengan lembut dan santun tentulah nuraninya akan terketuk. Begitulah ajaran yang juga dipesankan Allah kepada nabi Musa dan Harun as. ketika hendak berdakwah kepada Fir’aun. Seperti disebutkan dalam surat Thaha : 43-44
اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى(43)فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى(44)
Kedua, selalu memberi maaf atas kesalahan orang lain. Maaf secara harfiyah berarti menghapus. Sehingga, orang yang pemaaf adalah orang yang selalu menghapus setiap kejahatan dan kesalahan orang lain kepadanya. Dalam dirinya tidak ada sikap dendam dan sakit hati.
Jika sikap pemaaf bersemayam di dalam hati seseorang, maka orang-orang yang sebelumnya melakukan kesalahan dan dosa terhadapnya, lambat laun tentu akan merasa malu dan segan kepadanya. Akhirnya, dia akan menjadi orang yang disegani dan dihormati. Begitulah, sikap pemaaf mengantarkan seseorang untuk diterima dengan baik oleh orang lain.
Ketiga, sikap membalas kejahatan dengan kebaikan yang salah satu wujudnya adalah memintakan ampun atas kesalahan orang lain terhadapnya kepada Allah. Jika seseorang berbuat dosa dan kejahatan kepada dirinya, di samping tidak ada rasa dendam dan sakit hati, dia juga mendo’akan para pelaku kejahatan itu agar diampuni Allah. Inilah salah satu sikap yang pernah ditunjukan oleh Rasulullah saw. terhadap panduduk Thaif yang menyakiti dan melukai beliau. Ketika, malaikat menawarkan diri hendak membinasakan mereka, Rasulullah melarangnya sambil mendo’akan mereka agar diampuni dan diberi petunjuk. Bukankah sikap ini juga yang kemudian menjadikan Rasulullah sukses, diterima, dan dihormati semua manusia.
Keempat, selalu bermusyawah dan berdiskusi dengan orang lain ketika hendak mengambil sebuah keputusan. Dengan musyawarah, seseorang akan belajar bagaimana mendengar dan menerima pendapat orang lain. Bukankah seorang yang otoriter, selalu mau menang sendiri serta tidak pernah mau mendengarkan saran dan pendapat orang lian, akan dijauhi dari pergaulan masyarakatnya.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang 4 hal cara untuk mudah diterima oleh orang lain atau orang banyak. Mudah-mudahan kita bisa mengamalkannya. Aamiin. Sumber syofyanhadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.