Senin, 28 November 2016

Sejarah 8 Kerajaan Islam dalam Penyebaran Islam di Nusantara

Perkembangan Islam di Indonesia di pengaruhi oleh kerajaan-kerajaan Islam waktu itu. Peranan kerajaan-kerajaan Islam sangat berpengaru bagi perkembangan Islam hingga saat ini, walaupun kerajaan-kerajaan tersebut sekarang tidak ada lagi. Berikut ini dijelaskan sejarah pertumbuhan kerajaan Islam dan pengaruh kebudayaanya terhadap masyarakat Indonesia.

1. Kerajaan Samudra Pasai.
Kerajaan Samudra Pasai adalah kerajaan Islam pertama di Indonesia. Hal ini terbukti dari peninggalannya berupa bekas keraton, batu nisan, masjid, kesusastraan, dan sebagainya. Di bekas daerah Samudra Pasai banyak ditemukan makam raja Islam, seperti makam Sultan Malik al-Saleh, yang meninggal pada bulan Ramadhan tahun 676 M.

Jirat-jirat di pemakaman raja Samudera Pasai didatangkan dari India. Istana disusun dan diatur secara budaya India. Diantara para pembesarnya terdapat orang-orang Persia (Iran). Bahkan, patihnya bergelar Amir. Dengan demikian, kebudayaan Islam pada masa kerajaan Samudra Pasai telah berkembang cukup pesat.

2. Kerajaan Aceh.
Kerajaan Aceh muncul setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis. Masa kejayaan Kerajaan Aceh tercapai dalam pemerintahan Sultan Iskandar Muda.

Seni sastranya dalam kebudayaan masyarakat Aceh dipengaruhi oleh budaya agama Islam. Rakyat Aceh terutama kaum ulamanya gemar menulis buku kesusastraan. Misalnya, Nuruddin ar-Raniri menulis buku Bustanus Salatin dan Hamzah Fansuri menulis Syair Perahu, Syair Burung Pingai, dan Asrar al Arifin.

Selain itu, hasil-hasil kebudayaan masyarakat Aceh dipengaruhi oleh lingkungan alamnya, yaitu sungai dan lautan. Rakyat Aceh pandai membuat perahu dan kapal-kapal layar. Dengan demikian, tampaklah bahwa masyarakat kerajaan Aceh dipengaruhi oleh budaya Islam.

3. Kerajaan Demak.
Kebudayaan masyarakat Demak bercorak Islam yang terlihat dari banyaknya masjid, makam-makam, kitab suci Al-Qur’an, ukir-ukiran berlanggam (bercorak) Islam, dan sebagainya. Sampaisampai sekarang Demak dikenal sebagai pusat pendidikan dan penyebaran agama Islam di Jawa Tengah. Bahkan, dalam sejarah Indonesia, Demak dikenal sebagai pusat daerah budaya Islam di Pulau Jawa.

4. Kerajaan Mataram.
Sebagai kerajaan Islam, hasil budaya masyarakat Kerajaan Mataram diwarnai oleh agama Islam. Salah satu hasil budaya Kerajaan Mataram adalah penanggalan (almanak) Jawa.
Almanak Jawa ini merupakan hasil karya dari Sultan Agung. Almanak ini diberlakukan pada tahun 1633 M, dengan menetapkan bahwa pada tanggal 1  Muharam 1043 H sama dengan tanggal 1 Muharam 1555 tahun Jawa. Jadi jika disesuaikan dengan penanggalan Masehi, maka tanggal di atas sama dengan tanggal 8 Juli 1633.

Dengan demikian, almanak Jawa adalah perpaduan dari penanggalan Saka (Hindu) dan penanggalan Hijriyah (Islam). Hasil budaya masyarakat Mataram Baru yang masih ada sekarang adalah adanya tradisi Sekaten di Yogyakarta dan Cirebon yang dirayakan pada setiap perayaan Maulid Nabi Muhammad saw. Peninggalan Keraton di Yogyakarta dan di Surakarta yang sampai sekarang masih berjalan, yaitu berupa kesultanan lengkap dengan fasilitas peninggalan zaman Mataram baru.

5. Kesultanan Cirebon.
Perpecahan dan kemunduran politik Kesultanan Cirebon pada awal abad ke-18 ternyata tidak mengurangi wibawa Cirebon sebagai pusat agama Islam di Jawa Barat. Demikian pula kehidupan sosial tetap berkembang dengan baik.

Peranan histories keagamaan yang dipelopori oleh Sunan Gunung Jati tak pernah hilang dalam kehidupan masyarakat Cirebon. Kegiatan dan pendidikan dan penyiaran agama Islam pada zaman VOC dapat berjalan terus. Demikian pula di bidang budaya tetap berkembang subur.

Dalam abad ke-17 di keraton-keraton Cirebon berkembang kegiatan sastra, seperti suluk, kakain, dan naskah-naskah kuno lainnya. Demikian pula dalam bidang seni bangunan dan seni kaligrafi berkembang cukup baik.

Keraton dan masjid-masjid peninggalan Sunan Gunung Jati tetap dipertahankan sekalipun di bawah pengaruh kekuasaan Hindia Belanda. Bahkan sampai sekarang hasil budaya masyarakat Kesultanan Cirebon, seperti keraton, masjid, pondok pesantren, naskah-naskah kuno, tradisi Panjang jimat, dan lain-lain masih tetap dipelihara dengan baik.

6. Kesultanan Banten.
Kejayaan Kesultanan Banten pada masa lalu tampak dari peninggalan-peninggalannya, seperti Masjid Agung Banten yang didirikan pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin. Masjid ini mempunyai ciri arsitektur yang merupakan perpaduan antara seni bangunan Jawa dan Barat.

Di halaman selatan masjid terdapat bangunan Tiamah, yang merupakan bangunan tambahan yang dibuat oleh Hendrik Lucasz Cardeel, seorang arsitek kebangsaan Belanda. Dahulu Tiamah ini digunakan sebagai tempat majlis taklim serta tempat alim ulama Banten bermusyawarah tentang soal-soal agama Islam.

Selain masjid tadi, di Kasunanan terdapat masjid yang umurnya lebih tua dari Masjid Agung Banten. Di masjid inilah Kyai Dukuh tinggal dan mengajarkan agama Islam. Kyai Dukuh ini bergelar Pangeran Kasunyatan, guru Maulana Yusuf, Sultan Banten yang kedua.

Bangunan lainnya yang membuktikan kemegahan Kesultanan Banten yang kedua adalah bekas Keraton Surosowan yang dikelilingi oleh tembok benteng tebal, luasnya 4 hektar, berbentuk empat persegi panjang.

Benteng tersebut sampai sekarang masih tegak berdiri. Dalam situs (daerah, lahan) kepurbakalaan Banten ditemukan beberapa peninggalan Kesultanan Banten, antara lain Menara Masjid, Mesjid Pacinan Tinggi, Benteng Speelwijk, Meriam Ki Amuk, Watu Gilang, dan Pelabuhan perahu Karangantu. Semua itu merupakan peninggalan budaya masyarakat Kesultanan Banten pada masa jayanya dahulu.

7. Kerajaan Gowa-Tallo.
Hasil kebudayaan masyarakat Makasar dipengaruhi oleh lingkungannya yang dikelilingi lautan. Hasil budaya rakyat Makasar yang paling terkenal adalah perahu bercadik, yang disebut Korakora. Ciri pertahanan dari kerajaan Makasar adalah adanya benteng-benteng pertahanan.

Sampai sekarang di Makasar masih terdapat benteng-benteng pertahanan, yaitu benteng Sombaopu dan View Rotterdam. Jadi, aspek kehidupan budaya rakyat Makassar lebih bersifat agraris dan bahari.

8. Kerajaan Ternate dan Tidore.
Pengaruh agama dan budaya Islam di Maluku (Ternate danTidore) belum meluas ke seluruh daerah. Sebabnya, masih banyak rakyat Maluku yang mempertahankan kepercayaan nenek moyangnya.

Hal tersebut terbukti dari bekas peninggalan-peninggalannya, yakni masjid, buku-buku tentang Islam, makam-makam yang berpolakan Islam yang ada di Maluku tidak begitu banyak jumlahnya. Dengan kata lain hasil-hasil kebudayaan rakyat Maluku merupakan campuran antara budaya Islam dan pra Islam.

1 komentar:

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.