Selasa, 17 April 2018

Perbedaan Fiqih dengan Syariah dan Contohnya

A. Perbedaan Fikih dengan Syariah.
Secara terminologis, kata syariah berarti sumber air yang digunakan untuk minum. Namun dalam perkembangannya kata ini lebih sering digunakan untuk jalan yang lurus, yakni agama yang benar. Pengalihan ini bisa dimengerti karena sumber mata air merupakan kebutuhan pokok manusia untuk memelihara kehidupannya, sedangkan agama yang benar juga merupakan kebutuhan pokok manusia yang akan membawa pada keselamatan dan kebaikan hidup di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, selanjutnya arti syariah menjadi agama yang lurus yang diturunkan oleh Allah Swt. (satu-satunya Tuhan semesta Alam) untuk umat manusia. Secara umum keberadaan syariah Islam ialah untuk mengatur kehidupan manusia sebagai makhluk individual untuk taat, tunduk dan patuh kepada Allah Swt. Ketaatan dan ketundukan tersebut diwujudkan dalam bentuk ibadah yang telah diatur dalam syariah Islam. Adapun tujuan syariah secara khusus yang lebih dikenal dengan istilah Maqasid Al-Syariah yaitu:

1. Untuk memelihara agama (Hifz Al-din)
Yaitu untuk menjaga dan memelihara tegaknya agama dimuka bumi. Agama diturunkan oleh Allah Swt untuk dijadikan pedoman hidup dalam hablum minallah dan hablum minannas, sehingga manusia akan sejahtera dan tenteram dalam kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Oleh karena itu agama menjadi sesuatu hal yang sangat penting dan mutlak bagi manusia.

2. Memelihara jiwa (Hifz al-Nafs)
Yaitu kewajiban menjaga dan memelihara jiwa manusia dalam arti luas. Larangan membunuh manusia merupakan salah satu bentuk dari peran syariah untuk memberikan kedamaian dan kenyamanan dalam berkehidupan.

3. Memelihara akal (Hifz Al-Aql)
Yaitu kewajiban menjaga dan memelihara akal sebagai anugerah Allah Swt yang sangat prinsip karena tidak diberikan kepada makhluk selain manusia. Akal inilah di antara anugerah Allah Swt yang paling utama, sehingga dapat membedakan antara manusia dengan makhluk lain dan dapat membedakan antara manusia yang sehat jiwanya dengan manusia yang tidak sehat jiwanya

4. Memelihara keturunan (Hifz Al-Nasl)
Yaitu kewajiban menjaga dan memelihara keturunan yang baik karena dengan memelihara keturunan, agama akan berfungsi, dunia akan terjaga. Salah satu bentuknya adalah hukum tentang pernikahan yang telah banyak diatur dalam Al-Qur’an dan As-sunnah.

5. Memelihara harta (Hifz Al-Mal)
Yaitu kewajiban menjaga dan memelihara harta benda dalam rangka sebagai sarana untuk beribadah kepadanya.

Selanjutnya, mari kita perhatikan uraian para pakar fikih yang menjelaskan fikih secara terminologis berikut:

1. Asy-Syatibi menjelaskan bahwa syariah sama dengan agama.

2. Manna al-Qattan (pakar fikih dari Mesir) mengatakan bahwa syariah merupakan segala ketentuan Allah Swt. bagi hamba-Nya yang meliputi akidah, ibadah, akhlak dan tata kehidupan manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

3. Fathi ad-Duraini menyatakan bahwa syariah adalah segala yang diturunkan oleh Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw., baik yang ada dalam AlQur’an maupun al-Sunnah al-Shahihah, di mana keduanya disebut dengan teks-teks suci.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa syariah adalah teks-teks suci yang bebas dari kesalahan, baik isi maupun keautentikannya, yang darinya bersumber pemahaman ulama yang mendalam yang menghasilkan kesimpulan hukum-hukum amaliah (fikih). Upaya untuk memahami teks-teks suci yang dilakukan oleh para ulama untuk menghasilkan hukum sesuatu inilah yang dikenal sebagai ijtihad.

Dengan kata lain, fikih merupakan hasil ijtihad para ulama yang tentu kualitasnya tidak bisa disamakan dengan kesucian dua hal yang menjadi sumbernya, yakni Al-Qur’an dan al-Sunnah. Oleh karena itu tidak salah, kalau dalam penjelasannya Fathi ad-Duraini mengatakan bahwa syariah selamanya bersifat benar, sedangkan fikih karena merupakan hasil pemikiran manusia memungkinkan untuk benar ataupun salah.

Meskipun fikih merupakan hasil ijtihad atau pikiran ulama, kita juga tidak boleh meremehkan begitu saja karena para ulama dalam berijtihad melakukannya dengan disiplin metodologi keilmuan yang sangat ketat. Seperti halnya dalam dunia kedokteran, hasil ijtihad para ulama, walau tidak dapat dikatakan sama persis, bisa diserupakan dengan resep obat sebuah penyakit yang direkomendasikan oleh dokter berdasarkan keilmuan yang dikuasainya. Oleh karena itu, seorang pasien yang awam dalam ilmu kedokteran hendaknya mengikuti saja resep yang disarankan oleh dokter.

Namun demikian, bukan berarti dokter adalah sosok yang tak mungkin salah. Ia tetap sosok manusia biasa yang mungkin juga melakukan kesalahan. Nah, bagi pasien yang gejala penyakitnya tidak mengalami perubahan untuk sembuh, bisa mencari pengobatan baru ke dokter lain yang lebih ahli (dari dokter umum ke spesialis, misalnya) sehingga tertangani dengan tepat, bukan mengobati dirinya sendiri tanpa pengetahuan yang memadahi. Sementara itu bagi dokter lain yang memiliki kemampuan dan kewenangan untuk mengecek apakah yang dilakukan oleh seorang dokter merupakan kesalahan malpraktik atau tidak, bisa melakukan penelitian untuk membuat kesimpulan dan menyatakan kebenaran atau kesalahan suatu tindakan seorang dokter.

Sedikit berbeda dari kasus kedokteran, dalam fikih, karena dasar berpijaknya adalah Al-Qur’an dan al-Sunnah, setiap fatwa fikih yang dikeluarkan oleh ulama bisa dipertanyakan atau ditelusuri dasar berpijaknya dari Al-Qur’an dan al-Sunnah. Ketika sebuah fatwa fikih yang dikeluarkan itu ditemukan dasar berpijaknya dalam kedua sumber tersebut, tentunya dengan metodologi keilmuan fikih yang benar dan bisa dipertanggungjawabkan, maka umat pun akan tenang melakukan fatwa tersebut sebagai sesuatu yang benar secara syar’i. Mengetahui dasar berpijak sebuah fatwa inilah yang justru disarankan dalam Islam, yang lebih dikenal sebagai ittiba’ (nanti akan dibahas tersendiri), bukan mengikutinya secara membabi buta (taqlid). Sehingga letak perbedan antara Syariah dan Fikih adalah sebagai berikut:

No
SYARIAH
FIKIH
1
Bersumber dari Al-Qur’an Hadis serta kesimpulan-kesimpulan yang diambil dari keduanya
Bersumber dari para Ulama dan ahli Fiqh, tetapi tetap merujuk pada AlQur›an dan Hadis
2
Hukumnya bersifat Qat’i (Pasti)
Hukumnya bersifat zanni (dugaan)
3
Hukum Syariahnya hanya Satu (Universal) tetapi harus ditaati oleh semua umat Islam
Berbagai ragam cara pelaksanaannya
4
Tidak ada campur tangan manusia (ulama) dalam menetapkan hukum
Adanya campur tangan (ijtihad) para Ulama dalam penetapan pelaksanan hukum

B. Contoh Sederhana Perbedaan Syariah, Fikih dan Bukan Fikih.
Untuk memperoleh gambaran yang bisa mempermudah kalian membedakan syariah, fikih dan bukan fikih, mari kita perhatikan ayat Al-Qur’an dan sunnah Nabi terkait dengan wudhu berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki….” (QS. al-Maidah: 6)

عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Umar bin Al Khaththab di atas mimbar berkata; saya mendengar Rasulullah Saw bersabda: "Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan" (HR. Bukhari)

Dari ayat dan hadis di atas, para ulama fikih merumuskan rukun wudhu ada enam, yakni: niat, membasuh muka, membasuh tangan, mengusap kepala danmembasuh kaki, serta dilakukan dengan tertib. Niat diperoleh dari hadis ketika memulai sebuah perbuatan (dalam hal ini wudhu), sedangkan setelah itu dari membasuh muka sampai dengan kaki diperoleh dari Al-Qur’an. Sementara itu tertib diperoleh dari kaidah ushul fikih bahwa huruf wawu pada surat al-Maidah di atas menunjukkan urutan. Ketika terjadi perbedaan antar ulama fikih, apakah niat itu dilafadzkan ataukah cukup dalam hati, maka perbedaan pemahaman ini masih bisa ditolerir, artinya tidak sampai menghilangkan keabsahan wudhu yang dilakukan seseorang, dan masih bisa dikategorikan memiliki dasar berpijak dari Al-Qur’an maupun sunnah Nabi (sebagai syari’ah).

Sedangkan contoh pendapat yang keluar dan tidak bisa disebut sebagai fikih (pemahaman yang mendalam atas Al-Qur’an dan sunnah Nabi), adalah ketika orang berwudhu tanpa niat, kemudian hanya membasuh kaki saja. Perbuatan seperti ini tidak disebut fikih, dan tidak sah disebut sebagai wudhu. Demikian sekilas gambaran yang membedakan syari’ah, fikih dan yang bukan fikih. Kajian yang lebih mendalam bisa kalian lakukan sambil belajar di Madrasah kalian.

Contoh yang lain adalah tentang perintah sholat dan tata cara pelaksaannya. Perintah sholat adalah masuk kategori syariah, sementara tata cara pelaksaan sholat adalah masuk wilayah fikih. Sehingga tata cara pelaksaan shalat terutama pada gerakan dan beberapa bacaannya terkadang terjadi perbedaan antara ulama’ yang satu dengan ulama yang lain. Sementara gerakan yang tidak termasuk fikih adalah memutar-mutar tangan pada saat setelah takbiratul ikhram.

Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang perbedaan fiqih dengan syariah dan contohnya. Sumber buku Fikih Kelas X MA Kementerian Agama Republik Indonesia, 2016. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.