Selasa, 20 Agustus 2019

Hubungan Zakat dan Wakaf


Pengertian wakaf adalah menahan harta yang bisa diambil manfaaatnya dengan tetap kekalnya zat harta itu sendiri dan memanfaatkan kegunaannya di jalan kebaikan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah swt. Wakaf adalah amalan sunah, berbeda dengan zakat yang wajib hukumnya. Harta wakaf dijalankan dengan suka rela tetapi zakat harus dipaksa bagi orang yang enggan dan malas-malasan. Dalam kitab Kifayah al-Akhyar diterangkan sebagai berikut; “Definisi wakaf menurut syara’ adalah menahan harta-benda yang memungkinkan untuk mengambil manfaatnya beserta kekalnya zat harta-benda itu sendiri, dilarang untuk mentasaharrufkan zatnya. Sedang mentasharrufkan kemanfaatannya itu dalam hal kebaikan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah swt”

Berbeda dengan harta zakat yang benda fisiknya dapat digunakan sesuai keinginan mustahiq yang sudah mendapatkannya. Harta wakaf hanya bisa dimanfaatkan sesuai arahan dan pengarahan dari waqif atau pemberi harta wakaf. Jelas beda sekali dengan zakat maupun pajak. Dengan berkembangkan zaman, muncul persoalan baru, yaitu tentang seseorang yang mewakafkan uangnya. Dalam kasus wakaf uang ini, para ulama berbeda pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa wakaf uang (waqf al-nuqud) secara mutlak tidak diperbolehkan. Seseorang harus mewakafkan selain uang, khususnya benda-benda yang fisiknya tidak berubah. Rujukan tentang dilarangnya wakaf uang ini adalah sebagai berikut: “Adapun wakaf sesuatu yang tidak bisa diambil manfaatnya kecuali dengan melenyapkannya seperti emas, perak, makanan, dan minuman maka tidak boleh menurut mayoritas fukaha. Yang dimaksud dengan emas dan perak adalah dinar dan dirham dan yang bukan dijadikan perhiasan”.

Mewakafkan sesuatu yang benda fisiknya bisa rusak atau lenyap karena digunakan maka hukumnya tidak boleh. Ulama kelompok ini menganjurkan agar wakaf hanya dilakukan dengan memberikan benda yang fisiknya tidak berubah tetapi manfaatnya bisa diambil. Berbeda halnya dengan golongan ulama kedua, mereka ini menyatakan bahwa wakaf uang tetap diperbolehkan. Ibnu Syihab al-Zuhri juga memperbolehkan wakaf dinar sebagaimana dinukil al- Bukhari. Telah dinisbatkan pendapat yang mensahkan wakaf dinar kepada Ibnu Syihab al-Zuhri dalam riwayat yang telah dinukil Imam Muhammad bin Isma’il al-Bukhari dalam kitab Shahihnya. Ia berkata, Ibnu Syihab al-Zuhri berkata mengenai seseorang yang menjadikan seribu dinar di jalan Allah (mewakafkan). Ia pun memberikan uang tersebut kepada budak laki-lakinya yang menjadi pedagang. Maka si budak pun mengelola uang tersebut untuk berdagang dan menjadikan keuntungannya sebagai sedekah kepada orang-orang miskin dan kerabat dekatnya. Lantas, apakah lelaki tersebut boleh memakan dari keuntungan seribu dinar tersebut jika ia tidak menjadikan keuntungannya sebagai sedekah kepada orang-orang miksin? Ibnu Syihab al-Zuhri berkata, ia tidak boleh memakan keuntungan dari seribu dinar tersebut,”

Para ulama kontemporer pun mulai berpikir kreatif. Dengan berpijak pada pendapat Ibnu Syihab al-Zuhri, solusi untuk menerima wakaf uang adalah dengan menjadikannya sebagai modal usaha. Modal usaha dapat ditumbuh kembangkan, dimana modalnya tetap tidak berkurang, tetapi keuntungannya bisa bertambah. Keuntungan di sini dapat digunakan untuk tujuan bersama.

Untuk itulah, seseorang yang sudah mengeluarkan harta wakaf tidak bisa dianggap telah mengeluarkan zakat dari hartanya. Sebab, harta zakat boleh digunakan sampai habis oleh penerimanya. Sedangkan harta wakaf tidak boleh dihabiskan oleh penerimanya. Si penerima hanya boleh mengambil manfaat dari harta wakaf tanpa boleh merusak bentuk fisiknya.

Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang hubungan zakat dan wakaf. Sumber Pendalaman Materi Fikih Modul 3 Penyusun: Muh. Shabir Umar Kementerian Agama Republik Indonesia JAKARTA 2019. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.