Selasa, 27 Agustus 2019

Konteks Sosial-Historis Undang-undang Republik Indonesia tentang Pengelolaan Zakat

Penting mempelajari konteks sosial historis terkait pembentukan Undangundang Pengelolaan Zakat Nomor 23 tahun 2011. Konteks ini akan membantu situasi dan kondisi eksternal yang tidak tercantum di dalam teks undang-undang itu sendiri. Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat resmi diundangkan dan masuk dalam Lembaran Negara Republik Indonesia bernomor 115 setelah ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 25 November 2011. Ini momen sejarah yang menandai Indonesia masuk dalam fase berikutnya.

Yang penting diketahui adalah UU RI No. 23 Tahun 2011 menggantikan UU RI No. 28 Tahun 1999. Pengelolaan zakat pun memiliki sistem pengaturan dan tata kelola yang berbeda dari sebelumnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa struktur UndangUndang RI No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat terdiri dari 11 bab dengan 47 pasal. Bahkan, untuk mengantisipasi segala bentuk penyelewengan kekuasaan dan wewenang, UU RI No. 23 Tahun 2011 mencantumkan juga ketententuan pidana dan ketentuan peralihan. Dengan adanya ketentuan pidana maka setiap tindak penyelewengan dana zakat dapat dikenakan hukuman pidana.

Terbitnya UU RI No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat sangat positif karena negara dan pemerintah mengharapkan maksimalisasi pendayagunaan dan hasil guna pengelolaan zakat, infaq, dan sedekah di Indonesia. Harapan ini berlandaskan pada pemikiran bahwa pengelolaan zakat pada saat menggunakan payung hukum UU RI No. 38 Tahun 1999 dirasakan kurang optimal. Tentu nanti kita akan dilihat aspekaspek yang dinilai kurang optimal tersebut. Salah satu aspek yang dinilai kurang optimal adalah UU RI No. 38 Tahun 1999 kurang mampu menjawab permasalahan zakat di tanah air. Pasal-pasal yang termaktub di dalamnya sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga butuh pembaharuan. UU RI No. 23 Tahun 2011 adalah bentuk revisi pada aspek-aspek tertentu dan tetap memberlakukan pasal-pasal yang dirasa masih relevan.

Secara kronologis dapat dikatakan bahwa hari Senin, 28 Maret 2011 adalah tonggak sejarah luar biasa. Rapat Kerja antar Komisi VIII DPR RI dengan Pemerintah menghasilkan pembahasan rancangan undang-undang tentang pengelolaan zakat, infaq, dan sedekah. Hari dan tanggal ini sudah disepakati bersama pada masa persidangan III tahun sidang 2010-2011. Selain itu, masa persidangan III ini juga mengesahkan panitia kerja (Panja) RUU tentang pengelolaan zakat, infaq, dan sedekah.

Hal yang perlu diketahui adalah pembahasan RUU melalui rapat dengar pendapat (RDP) Panja Komisi VIII DPR RI dengan pemerintah dilakukan sebanyak 7 (tujuh) kali. Dengan kata lain, ini betul-betul kerja keras pemerintah dalam menggodok aturan hukum negara yang menyangkut persoalan penting dalam agama. Sebab, sekalipun zakat adalah rukun Islam, tetapi posisi dan perannya sangat urgen bagi kehidupan bangsa dan negara. Pembahasan RUU juga dilakukan melalui Rapat Konsinyering sebanyak 2 (dua) kali, terhitung mulai tanggal 28 Maret 2011 sampai 17 Oktober 2011.

Pada Rapat Konsiyering yang dilakukan di hari Jumat, 18 Juni 2011 pukul 21.00, subtansi RUU tentang pengelolaan zakat, infaq, dan sedekah dicermati dengan betul dan sangat serius. Panja Komisi VIII DPR RI dan Panja Pemerintah bersepakat untuk mengubah judul RUU tentang Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Sedekah menjadi Racangan Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat.

Sedangkan judul Pengaturan Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Sedekah dan Dana Sosial Keagamaan Lainnya disepakati untuk diatur sebagai norma tambahan (extra norms). Hal itu kemudian terlihat sebagaimana dalam rumusan RUU tentang Pengelolaan Zakat Pasal 28 ayat (1), (2), (3). Kerja maraton dari Panja VIII DPR RI dan Panja Pemerintah menghasilkan keputusan yang luar biasa. Undang-undang yang baru berhasil diterbitkan.

Gedung Nusantara I DPR seakan menjadi saksi bisu berlangsungnya Rapat Kerja Komisi VIII DPR dengan Pemerintah, yang terdiri dari Menteri Agama, Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Rapat ini yang bertujuan untuk meengambil Keputusan Tingkat I terhadap RUU tentang Pengeloaan Zakat dipimpin Ketua Komisi VIII, Abdul Kadir Karding. Orangorang inilah yang menjadi saksi sejarah terbentuknya undang-undang baru pengelolaan zakat bernomor 23 tahun 2011 yang kita pakai sampai saat ini.

Pada waktu itu, RUU tentang Pengelolaan Zakat ini yang diajukan ke Sidang Paripurna Dewan berdasarkan persetujuan dari seluruh fraksi yang ada di Komisi VIII saat Pengambilan Keputusan Tingkat I terhadap RUU tentang Pengelolaan Zakat. Komisi VIII menjadi ruang dimana juru bicara dari tiap-tiap fraksi partai politik mengutarakan pandangan mereka. Undang-undang baru bertahun 2011 ini adalah rumusan pemikiran partai politik yang utusannya berada di Komisi VIII.

Salah satu juru bicara fraksi Partai Demokrat yang bisa dikutip di sini adalah Nany Sulistyani Herawati. Tanpa mengecilkan kontribusi dan peran partai lain, Nany Sulistyani Herawati mengusulkan hendaknya pendekatan dalam pengelolaan zakat sebaiknya lebih difokuskan pada perspektif pemberdayaan dan bersifat jangka panjang dibanding bersifat santunan dan sementara. Pernyataan ini dapat diartikan sebagai kritik atas UU RI Nomor 38 Tahun 1999 yang dinilai lebih mengedepankan spirit santunan. Sebaliknya, undang-undang baru tahun 2011 lebih mengarah pada produktivitas pengelolaan dana zakat.

Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang konteks sosial-historis undang-undang Republik Indonesia tentang pengelolaan zakat. Sumber Pendalaman Materi Fikih Modul 3 Penyusun: Muh. Shabir Umar Kementerian Agama Republik Indonesia JAKARTA 2019. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.