Senin, 23 September 2019

Pendekatan-Pendekatan Tafsir Kontemporer

Beberapa pendekatan tafsir kontemporer yang ada sebagai berikut;

1. Pendekatan Ilmiah
Tafsir dengan pendekatan ilmiah mengharuskan penafsir dalam memahami ayat-ayat Al-Quran cenderung menyelaraskan antara teori ilmiah atau aspek metafisika alam dengan ayat Al-Quran. Al-Quran yang bersifat universal telah memberikan gambaran seluas-luasnya tentang fenomena alam semesta, yang ternyata setelah dicocokkan sangat berkesesuaian dengan teori ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia pada masa ini.

2. Pendekatan Semantik
Sebagai kalam Allah, Al-Quran bersifat transenden dan transhistoris. Namun karena disampaikan dalam bahasa manusia, maka Al-Quran juga imanen dan historis. Susunan teks Al-Quran yang dipercaya sesuai dengan susunan di lawḥ al-maḥfuz berbeda dengan urutan diturunkannya. Jumlah kata-kata Al-Quran adalah terbatas, sedang ruang-waktu pemberlakuannya hampir tak terbatas. Fakta-fakta ini tampaknya dapat menjadi alasan yang cukup untuk mengatakan bahwa kompleksitas makna Al-Quran itu demikian tinggi, apalagi jika hendak difahami pada masa yang sangat jauh dengan masa penurunannya, seperti sekarang ini.

Untuk menangkap pesan dan informasi Al-Quran secara mendalam dan komprehensif, seiring perkembangan ilmu, teknologi, dan peradaban manusia, diperlukan kajian metodologi yang semakin canggih. Salah satu pendekatan kajian Al-Quran yang tampaknya berhasil mengungkapkan gagasan Al-Quran secara mendalam dan komprehensif, mengenai pandangan dunia dan konsep-konsep etika-religus Al-Quran, adalah pendekatan semantik, seperti yang dilakukan Toshihiko Izutsu. Pendekatan ini mengharuskan penggunanya menguasai bahasa Arab dengan baik hingga sya`ir-sya`ir jāhilī.

3. Pendekatan Hermeneutika
Pendekatan hermeneutika telah mengilhami para sarjana muslim kontemporer untuk membuka wacana baru, seperti Arkoun, Hasan Hanafi, Farid Esack dan Nasr Hamid Abu Zaid, dalam melakukan interpretasi. Konsekuensi dari model hermeneutika, dalam menafsirkan Al-Quran tidak hanya mengandalkan perangkat keilmuan seperti yang digunakan para penafsir dulu, seperti ilmu nah}wu sharaf, ushul fiqh dan balaghah, tetapi diperlukan ilmu-ilmu lain seperti teori sosiologi, antropologi, filsafat ilmu, sejarah, gender, dan sebagainya. Metode hermeneutika yang dikembangkan oleh para penafsir kontemporer itu pun sangat beragam. Keberagaman ini muncul bukan hanya karena semakin terbukanya umat Islam terhadap gagasan gagasan yang berasal dari luar, seperti isu tentang HAM, gender, demokrasi, civil society, pluralisme dan sebagainya, namun juga karena adanya dinamika dan kesadaran pada mereka akan kekurangan-kekurangan metode dan pendekatan yang ada selama ini.

Dengan kentalnya nuansa hermeneutik, maka peran teks, pengarang dan pembaca menjadi berimbang, sehingga kesewenang-wenangan dan pemaksaan penafsiran relatif dapat dihindari. Dengan demikian, meminjam istilah Khalid Aboul Fadl, otoritarianisme penafsiran dapat dieliminasi dan produk-produk tafsir menjadi lebih otoritatif, tidak otoriter dan despotic. 1

Setiap penafsir pasti sudah memiliki prejudice sebelum berhadapan dengan teks. Jadi, sebuah penafsiran pasti melibatkan subjektivitas penafsir. Penafsiran atas kitab suci tidak hanya bersifat reproduktif, tapi juga produktif. Dalam konteks ini Hans-Georg Gadamer mengatakan, “That is why under-standing is not merely a reproductive, but always a productive attitude as well.”2 Kita tidak mungkin membaca teks tanpa prasangka (prejudice, Vorurteil) dan kita tidak mungkin memahami teks kalau tidak menambah makna terhadap makna yang sudah ada. Namun demikian, sebenarnya Gadamer tidak berhenti di situ, karena dengan mengikuti lingkaran hermeneutic, ia menganggap bahwa bisa terjadi penggabungan kedua cakrawala (fusion of the two horizons). Yang dimaksud penggabungan dua cakrawala adalah bahwa kita tidak berarti selalu akan menghasilkan sebuah campuran yang seimbang di antara masa lalu (kuno) dan cakrawala masa kini (modern). Juga tidak berarti bahwa cakrawala masa kini akan mendominasi cakrawala masa lalu. Sebaliknya makna asli itu dapat diperoleh dari penggabungan kedua cakrawala. Artinya, kita perlu memeriksa makna teks bagi orang di masa lalu (what it means) dengan jalan exegese, sesudah itu kita baru mencari makna teks bagi masa kini (what its means) melalui hermeneutika.3 Dengan begitu, maka teks itu menjadi "hidup" dan kaya akan makna. Teks itu akan menjadi dinamis pemaknaannya dan selalu kontekstual, seiring dengan akselerasi perkembangan budaya dan peradaban manusia.4

Oleh sebab itu, wajar jika teks yang tunggal, lalu dibaca oleh banyak pembaca (readers), menghasilnya banyak wajah penafsiran. Menarik untuk dikutip dalam hal ini adalah pendapat Amina Wadud yang mengatakan: “Although each reading is unique, the understanding of various readers of singel text will converge on many points.”5 Menurutnya, karena selama ini tidak ada metode tafsir yang benar-benar objektif. Masing-masing interpretasi cenderung mencerminkan pilihan-pilihan yang subjektif.6

Lalu bagaimana agar sebuah penafsiran itu relatif lebih objektif. Menurut Amina Wadud, untuk memperoleh penafsiran yang relatif objektif, seorang penafsir harus kembali pada prinsip-prinsip dasar dalam Al-Quran sebagai kerangka paradigmanya dan seorang penafsir perlu memahami Weltanchauung atau world view.7 Gagasan tentang perlunya memahami Weltanschauung sebenarnya merupakan ide dari Fazlur Rahman. Gagasan ini dirumuskan dengan menggunakan prosedur sintesis antara sistem etika dan teologi.8

4. Pendekatan Ilmu-Ilmu Sosial
Pendekatan ini sebenarnya tidak terlalu baru, pendekatan ini sudah dikenal di awal abad modern yang lalu. Persentuhan dengan peradaban barat disebut-sebut sebagai stimulus lahirnya pendekatan ini dalam dunia Islam. Kemampuan para penafsir kontemporer dalam memahami ilmu-ilmu sosial, dijadikan modal untuk memahami gejala-gejala keagamaan yang sejauh ini hanya didasarkan pada ilmu-ilmu agama. Mereka tampaknya sangat menyadari bahwa ilmu sosial yang berasal dari Barat itu sangat penting untuk memahami (mengkritik) gejala (agama) yang ada dalam dunia Islam selama ini.

Riffat Hassan misalnya, dengan terang-terangan mengakui perlunya mengembangkan apa yang oleh Barat disebut dengan "teologi feminis" untuk membebaskan umat Islam dari struktur yang tidak adil dan tidak memungkinkan terjadinya hubungan yang hidup antara laki-laki dan perempuan.9 Sebenarnya, pendekatan ilmu sosial ini sudah dimulai sejak abad moderen. Pendekatan ini dikenal dengan al-tafsir al-ijtima’i. Tafsir ini masih diminati pada abad kontemporer hanya ada sedikit perubahan pada asumsi dan prinsip yang digunakan. Misalnya pendekatan ini di abad kontemporer kerapkali dikolaborasi dengan pendekatan lain sehingga menghasilkan tafsir Al-Quran yang berbeda meskipun pada kasus dan ayat yang sama.

5. Pendekatan yang Bersifat Mengarah pada Pembebasan
Sebagai contoh penulis memilih pendekatan feminisme atau gender. Gender sebagai gejala sosial, dapat diartikan sebagai pembagian peran manusia berdasar-kan jenis kelamin. Tujuan perjuangan feminisme pada umumnya mencapai kesetaraan, harkat dan kebebasan perempuan dalam memilih untuk mengelola kehidupan tubuhnya, baik di luar maupun di dalam rumah tangga.

Namun sebagaimana yang dikatakan Nighat Said Khan dan Kamla Bashin 10 dua feminis asal India, feminis tidak hanya bertujuan memperjuangkan persamaan laki-laki dan perempuan, mela-inkan juga membangun tatanan masyarakat yang adil dan baik bagi perempuan maupun laki-laki, bebas dari pengisapan dan pengko-takan berdasarkan kelas, kasta, dan prasangka jenis kelamin.

Persoalan mendasar dalam membahas isu-isu gerakan feminisme adalah tentang posisi perempuan dalam tafsir Alquran adalah masih adanya kesenjangan antara tataran ideal-normatif yang dijarakan Alquran dengan tataran tafsir yang historis-empiris. Jika dalam tataran normatif-idealis, kaum perempuan dipandang setara dengan laki-laki, namun pada tataran historis-empiris posisi perempuan relatif belum setara dengan laki-laki, peranan perempuan terasa masih terpinggirkan. Ini berarti masih ada kesenjangan antara yang semestinya (normative) dengan yang senyatanya. Bagi pengkaji masalah perempuan, agama merupakan salah satu obyek kajian yang sangat menarik.

Hal ini karena agama, yang merupakan way of life sebagian besar umat manusia, mengandung ajaran-ajaran yang berkaitan dengan hal tersebut di dalam kitab-kitab sucinya. Selama ini penafsiran para elit agama atas teksteks keagamaan dalam kaitannya dengan masalah perempuan cenderung “menomorduakan” pihak perempuan, dan di banyak tempat teks-teks keagamaan itu sendiri secara harfiah memang menempatkan laki-laki di atas perempuan.

Pendekatan ini sangat berkonsentrasi pada pencaraian sebab lahirnya kesenjangan di atas yang umumnya merajalela di tafsir klasik. Dengan pendekatan feminis, para mufasir kontemporer mengajukan paradigma dan asumsi baru tentang pembacaan ulang pada Al-Quran berdasarkan pada semangat dan tujuan di atas.

6. Pendekatan Pluralisme Agama
Budhi Munawar Rahman menyimpulkan bahwa filsafat atau teologi pluralisme dan dialog antar umat beragama mensyaratkan dialog antar umat beragama sebagai elemen penting dalam berinteraksi dengan agama agama lain. Dialog ini bukan bertujuan menciptakan satu agama tunggal dan final, melainkan memperkaya dan merayakan keberagaman yang semakin berkembang dan berarti dalam agama-agama. Dialog korelasional ini harus disertai dengan tanggungjawab global, oleh karena itu pendekatannya bukan eklesiosentris, kristosentris atau teosentris melainkan soterosentris (berpusat pada keselamatan) yang didasarkan pada dasar yang sama, yaitu tanggung jawab global terhadap kesejahteraan manusia dan lingkungan.

Dasar dialog antara agama bagi pluralisme dan dialog antaragama adalah soal penderitaan manusia dan kerusakan ekologi, atau dengan kata lain kesejahteraan manusia dan lingkungannya. Dengan pendekatan ini, beberapa ayat Al-Quran yang biasa ditafsirkan membedakan atau mengaggap eksklusif ajaran agama Islam dan menyalahkan agama selain Islam, ditafsirkan ulang dengan asumsi dan paradigma di atas. Sehingga tercapai tujuan hidup penuh damai dan tidak adalagi kekerasaan atas nama agama.

Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang pendekatan-pendekatan tafsir kontemporer. Sumber Modul 4 Konsep Tawassuth, Tawazun dan Tasamuh dalam Al Quran Hadis PPG dalam Jabatan Tahun 2019 Kementerian Agama Republik Indonesia JAKARTA 2019. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.

Daftar Pustaka
1. Khaled Abou ElFadl, Atas Nama Tuhan: Sari Fikih Otoriter Ke Fikih Otoritatif (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004).

2. Hans-Georg Gadamer, Truth and Method (New York: The Seabury Press, 1975), 264.

3. Pdt. E. Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan; Berteologi Dalam Konteks Di Awal Melenium III (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2005), 3637 dan 4042.

4. Hassan Hanafi, Al-Yamin Wa Al-Yasar Fi Al-Fikr Al-Dini (Mesir: Madbuli, 1989), 77.

5. Amina Wadud, "Quran and Woman" dalam Charles Kurzman, Liberal Islam, 127.

6. Ibid., 128.

7. Amina Wadud Muhsin, Qur‟an and Woman (Kuala Lumpur: Fajar Bakti Sdn bhd, 1994), 5.

8. Fazlur Rahman, Major Themes of The Qur‟an (Chicago: Bibliotecha Islamica, 1980), xi.

9. Riffat Hassan, Setara di Hadapan Allah, 40.

10. Kamla Bashin dan Nighat Said Khan, Persoalan Pokok Mengenai Feminisme Dan Relevansinya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Kaylamitra, 1995), 56.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.