Abu Bakar r.a adalah salah seorang ahli surga, Nabi Saw sendiri pernah memberi berita gembira kepada beliau tentang kedudukan beliau di dalam syurga. Bahkan diberitahu bahawa beliau akan menjadi ketua kepada satu kumpulan ahli syurga. Semua pintu surga akan menyeru dan memanggil nama beliau.
Banyak orang yang sudah biasa dengan suatu kepercayaan sudah tidak ragu lagi, sampai-sampai ia jadi fanatik dan kaku dengan kepercayaannya itu. Bahkan ada yang sudah tidak tahan lagi melihat muka orang yang berbeda kepercayaan. Mereka menganggap bahwa iman yang sebenarnya harus fanatik, keras, dan tegar.
Sebaliknya Abu Bakar, dengan keimanannya yang begitu agung dan begitu teguh, tak pernah ia goyah dan ragu, jauh dari sikap kasar. Sikapnya lebih lunak, penuh pemaaf, penuh kasih bila iman itu sudah mendapat kemenangan. Dengan begitu, dalam hatinya terpadu dua prinsip kemanusiaan yang paling mendasari: mencintai kebenaran, dan penuh kasih sayang. Demi kebenaran itu segalanya bukan apa-apa baginya, terutama masalah hidup duniawi. Apabila kebenaran itu sudah dijunjung tinggi, maka lahir pula rasa kasih sayang, dan ia akan berpegang teguh pada prinsip ini seperti pada yang pertama. Terasa lemah ia menghadapi semua itu sehingga matanya basah oleh air mata yang deras mengalir.
Rabi’ah Aslami r.a menceritakan, ”Pernah sekali berlaku pertengkaran antara saya dengan Hazrat Abu Bakar r.a kerana sesuatu perkara. Beliau telah mengatakan sesuatu yang kasar terhadap saya yang saya tidak suka. Beliau segera menyedari keadaan itu dan berkata kepada saya, ”Engkau pun katakanlah perkataan itu kepada saya supaya menjadi balasan terhadap saya.
Demikian itulah sifat ketakutan Hazrat Abu Bakar r.a kepada Allah Swt. Beliau begitu risau dan mengambil berat tentang satu perkataan yang remeh sehingga pada mulanya beliau sendiri yang meminta supaya dibalasi dan kemudian dengan perantaraan Rasulullah Saw, beliau ingin supaya Rabi’ah r.a mengambil tindakan balas.
b. Umar Bin Khattab
Suatu hari Amiril Mukminin Umar bin Khaththab r.a. dikirimi harta yang banyak. Beliau memanggil salah seorang pembatu yang berada di dekatnya. “Ambillah harta ini dan pergilah ke rumah Abu Ubaidah bin Jarrah, lalu berikan uang tersebut. Setelah itu berhentilah sesaat di rumahnya untuk melihat apa yang ia lakukan dengan harta tersebut,” begitu perintah Umar kepadanya.
Rupanya Umar ingin melihat bagaimana Abu Ubaidah menggunakan hartanya. Ketika pembantu Umar sampai di rumah Abu Ubadah, ia berkata, “Amirul Mukminin mengirimkan harta ini untuk Anda, dan beliau juga berpesan kepada Anda, ‘Silakan pergunakan harta ini untuk memenuhi kebutuhan hidup apa saja yang Anda kehendaki’.”
Abu Ubaidah berkata, “Semoga Allah mengaruniainya keselamatan dan kasih sayang. Semoga Allah membalasnya dengan pahala yang berlipat.”
Kemudian ia berdiri dan memanggil hamba sahaya wanitanya. “Kemarilah. Bantu aku membagi-bagikan harta ini!.”
Lalu mereka mulai membagi-bagikan harta pemberian Umar itu kepada para fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan dari kaum muslimin, sampai seluruh harta ini habis diinfakkan.
Pembantu Umar pun kembali pulang. Umar pun memberinya uang sebesar empat ratus dirham seraya berkata, “Berikan harta ini kepada Muadz bin Jabal!” Umar ingin melihat apa yang dilakukan Muadz dengan harta itu. Maka, berangkatlah si pembantu menuju rumah Muadz bin Jabal dan berhenti sesaat di rumahnya untuk melihat apa yang dilakukan Muadz terhadap harta tersebut.
Muadz memanggil hamba sahayanya. “Kemarilah, bantu aku membagi-bagikan harta ini!” Lalu Muadz pun membagi-bagikan hartanya kepada fakir miskin dan mereka yang membutuhkan dari kalangan kaum muslimin hingga harta itu habis sama sekali di bagi-bagikan. Ketika itu istri Muadz melihat dari dalam rumah, lalu berkata, “Demi Allah, aku juga miskin.” Muadz berkata, “Ambillah dua dirham saja.”
Pembantu Umar pun pulang. Untuk ketiga kalinya Umar memberi empat ribu dirham, lalu berkata, “Pergilah ke tempat Saad bin Abi Waqqash!” Ternyata Saad pun melakukan apa yang dilakukan oleh dua sahabat sebelumnya. Pulanglah sang pembantu kepada Umar. Kemudian Umar menangis dan berkata, “Alhamdulillah, segala puji syukur bagi Allah.”
c. Utsman Bin Affan
Dalam kitab Al Thabaqat, Taj-ul Subki menceritakan bahwa ada seorang lakilaki bertamu kepada Utsman. Laki-laki tersebut baru saja bertemu dengan seorang perempuan di tengah jalan, lalu ia menghayalkannya. Utsman berkata kepada laki-laki itu, “Aku melihat ada bekas zina di matamu.”
Laki-laki itu bertanya, “Apakah wahyu masih diturunkan setelah Rasulullah saw wafat?”
Utsman menjawab, “Tidak, ini adalah firasat seorang mukmin.” Utsman r.a. mengatakan hal tersebut untuk mendidik dan menegur laki-laki itu agar tidak mengulangi apa yang telah dilakukannya.
Selanjutnya Taj-ul Subki menjelaskan bahwa bila seseorang hatinya jernih, maka ia akan melihat dengan nur Allah Swt, sehingga ia bisa mengetahui apakah yang dilihatnya itu kotor atau bersih. Maqam orang-orang seperti itu berbeda-beda. Ada yang mengetahui bahwa yang dilihatnya itu kotor tetapi ia tidak mengetahui sebabnya. Ada yang maqamnya lebih tinggi karena mengetahui sebab kotornya, seperti Utsman r.a. Ketika ada seorang laki-laki datang kepadanya, Utsman dapat melihat bahwa hati orang itu kotor dan mengetahui sebabnya yakni karena menghayalkan seorang perempuan.
Sekecil apa pun kemaksiatan akan membuat hati kotor sesuai kadar kemaksiatan itu. Kotoran itu bisa dibersihkan dengan memohon ampun (istighfar) atau perbuatan-perbuatan lain yang dapat menghilangkannya. Hal tersebut hanya diketahui oleh orang yang memiliki mata batin yang tajam seperti Utsman bin Affan, sehingga ia bisa mengetahui kotoran hati meskipun kecil, karena menghayalkan seorang perempuan merupakan dosa yang paling ringan, Utsman dapat melihat kotoran hati itu dan mengetahui sebabnya. Ini adalah maqam paling tinggi di antara maqam maqam lainnya.
d. Ali Bin Abi Thalib
Ali bin Abi Thalib ra, selain dalam kehidupan pribadinya, ia adalah orang yang zuhud (sederhana dalam hidup), beliau memandang bahwa zuhud bagi penguasa merupakan sesuatu yang penting dan wajib. Beliau berkata, “Allah menjadikanku sebagai imam dan pemimpin dan aku melihat perlunya aku hidup seperti orang miskin dalam berpakian, makan, dan minum sehingga orang-orang miskin mengikuti kemiskinanku dan orang-orang kaya tidak berbuat yang berlebihan.”
Ali bin Abi Thalib memakai pakaian yang keras, yang dibelinya seharga lima dirham. Pakaian itu bertambal sehingga dikatakan, “Wahai Imam Ali! Pakaian apa yang engkau kenakan?” Beliau berkata, “Pakaian yang menjadi contoh bagi Mukminin menjadi penyebab khusyuknya hati dan tawadhu’, menyampaikan manusia kepada tujuan, merupakan syiar orang saleh, dan tidak menyebabkan kesombongan. Alangkah baiknya kalau Muslimin mencontohnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.