Minggu, 08 September 2019

Dalil Kehujjahan Hadis

Kehujjahan Hadis adalah wajib digunakannya hadis sebagai hujjah atau dasar hukum (al-dalil al-syar’i). Hadis adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) setelah Alquran. Bagi orang yang beriman terhadap Alquran sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Hadis juga merupakan sumber hukum Islam. Bagi mereka yang menolak kebenaran Hadis sebagai sumber hukum Islam, bukan saja memperoleh dosa, tetapi juga murtad hukumnya.

Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada Hadis karena selain memang di perintahkan oleh Alquran juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai sumber hukum utama. Apabila Hadis tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal, seperti tata cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat Alquran dalam hal ini tersebut hanya berbicara secara global dan umum. Dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasulullah.

Selain itu juga akan mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak (multi makna), muhtamal (mengandung makna alternatif) dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan Sunnah untuk menjelaskannya. Dan apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan rasio (logika) sudah barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat subyektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Para imam pembina mazhab semuanya menggunakan hadis atau Sunnah dalam ijtihanya menggali hukum. Untuk mengetahui sejauh mana kedudukan hadis sebagai sumber hukum Islam, dapat dilihat dalam beberapa dalil, baik dalam bentuk naqli ataupun aqli :

1. Dalil Alquran
Banyak ayat Alquran yang menerangkan tentang kewajiban mempercayai dan menerima segala yang datang dari Rasulullah Saw untuk dijadikan pedoman hidup. Diantaranya adalah : Firman Allah Swt dalam surah Ali Imran (3): 179 yang berbunyi :

مَّا كَانَ ٱللَّهُ لِيَذَرَ ٱلْمُؤْمِنِينَ عَلَىٰ مَآ أَنتُمْ عَلَيْهِ حَتَّىٰ يَمِيزَ ٱلْخَبِيثَ مِنَ ٱلطَّيِّبِ ۗ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى ٱلْغَيْبِ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَجْتَبِى مِن رُّسُلِهِۦ مَن يَشَآءُ ۖ فَـَٔامِنُوا۟ بِٱللَّهِ وَرُسُلِهِۦ ۚ وَإِن تُؤْمِنُوا۟ وَتَتَّقُوا۟ فَلَكُمْ أَجْرٌ عَظِيمٌ

maa kaana laahu liyadzara lmu'miniina 'alaa maa antum 'alayhi hattaa yamiiza lkhabiitsa mina ththhayyibi wamaa kaana laahu liyuthli'akum 'alaa lghaybi walaakinna laaha yajtabii min rusulihi man yasyaau faaaminuu bilaahi warusulihi wa-in tu'minuu watattaquu falakum ajrun 'azhiim

Artinya : "Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasulrasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasulNya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar"

Diantaranya Q.S. al-Nisa’ (4) : 59 sebagai berikut:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

yaa ayyuhaa ladziina aamanuu athii'uu laaha wa-athii'uu rrasuula waulii l-amri minkum fa-in tanaaza'tum fii syay-in farudduuhu ilaa laahi warrasuuli in kuntum tu'minuuna bilaahi walyawmi l-aakhiri dzaalika khayrun wa-ahsanu ta'wiilaa

“Wahai orang-orang yang beriman,taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasul serta ulil amri di antara kalian.Kemidian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Dalam QS. Ali Imran di atas, Allah memisahkan antara orang-orang mukmin dengan orang-orang yang munafiq, dan akan memperbaiki keadaan orang-orang mukmin dan memperkuat iman mereka. Oleh karena itulah, orang mukmin dituntut agar tetap beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan pada QS. An-Nisa, Allah menyeru kaum Muslimin agar mereka tetap beriman kepada Allah, rasul-Nya (Muhammad SAW), Alquran, dan kitab yang diturunkan sebelumnya. Kemudian pada akhir ayat, Allah mengancam orang-orang yang mengingkari seruan-Nya.

Selain Allah SWT memerintahkan kepada umat Islam agar percaya kepada Rasulullah Saw. Allah juga memerintahkan agar mentaati segala peraturan dan perundang-undangan yang dibawanya. Tuntutan taat kepada Rasul itu sama halnya dengan tuntutan taat dan patuh kepada perintah Allah Swt. Banyak ayat Alquran yang mnyerukan seruan ini. Perhatikan firman Allah SWT.

Dalam surat Ali-Imran (3) ayat 32 dibawah ini:

قُلْ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ ۖ فَإِن تَوَلَّوْا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلْكَٰفِرِينَ

qul athii'uu laaha warrasuula fa-in tawallaw fa-inna laaha laa yuhibbu lkaafiriin

Artinya : “Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir". (QS:Ali Imran : 32).

Masih banyak lagi ayat-ayat yang sejenis menjelaskan tentang permasalahan ini. Dari beberapa ayat di atas telah jelas bahwa perintah mentaati Allah selalu dibarengi dengan perintah taat terhadap Rasul-Nya. Begitu juga sebaliknya dilarang kita durhaka kepada Allah dan juga kepada Rasul-Nya.

Dari sinilah jelas bahwa ungkapan kewajiban taat kepada Rasulullah Saw dan larangan mendurhakainya, merupakan suatu kesepakatan yang tidak dipersilihkan umat Islam.

2. Dalil Hadis
Dalam salah satu pesan yang disampaikan baginda Rasul berkenaan dengan kewajiban menjadikan hadis sebagai pedoman hidup disamping Alquran sebagai pedoman utamanya, adalah sabdanya:

Artinya : Al Mustadrak 319: Abu Bakar bin Ishaq Al Faqih mengabarkan kepada kami, Muhammad bin Isa bin As-Sakan Al Wasithi memberitakan (kepada kami), Daud bin Amr Adh-Dhabbi menceritakan kepada kami, Shalih bin Musa Ath-Thalhi menceritakan kepada kami dari Abdul Aziz bin Rufa'i, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah , dia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:”Sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian dua pedoman yang tidak akan membuat kalian tersesat sesudahnya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnahku, keduanya tidak akan berpisah hingga sampai di telaga”.

Hadis di atas telah jelas menyebutkan bahwa hadis merupakan pegangan hidup setelah Alquran dalam menyelesaikan permasalahan dan segalah hal yang berkaitan dengan kehidupan khususnya dalam menentukan hukum.

3. Ijma’ al-Sahabah.
Para sahabat pada waktu Rasulullah saw masih hidup selalu mengikuti segala sesuatu yang diprintahkan oleh beliau dan menjauhi segala sesuatu yang dilarangnya dengan tidak membeda-bedakan antara hukum-hukum yang ditetapkan oleh Tuhan dengan hukum-hukum yang diciptakan oleh Rasul sendiri. Setelah Rasulullah saw meninggal dunia, jika para sahabat tidak mendapatkan ketentuan hukum dalam Alquran, maka meraka meneliti hadis-hadis Rasul saw yang dihafal oleh para sahabat. Abu bakar, misalnya, jika ia tidak ingat sunnah atau hadis yang berhubungan dengan suatu kejadian, ia selalu bertanya kepada sahabat yang lain. Selanjutnya kejadian tersebut ditetapkan hukumnya menurut sunnah tadi. Umar bin khattab dan sahabatsahabat yang lain serta para tabi’in mengikuti jejak Abu Bakar tersebut, dan tidak ada seorangpun diantara mereka yang mengingkari bahwa sunnah Rasulullah saw wajib diikuti.

Banyak peristiwa menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadis sebagai sumber hukum Islam, antara lain adalah peristiwa dibawah ini;

a. Ketika Abu Bakar dibaiat menjadi khalifah, ia pernah berkata, “saya tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya.

b. Saat Umar berada di depan Hajar Aswad ia berkata, “saya tahu bahwa engkau adalah batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan menciummu.”

c. Pernah ditanyakan kepada Abdullah bin Umar tentang ketentuan sholat safar dalam Alquran. Ibnu Umar menjawab, “Allah SWT telah mengutus Nabi Muhammad SAW kepada kita dan kita tidak mengetahui sesuatu, maka sesugguhnya kami berbuat sebagaimana kami melihat Rasulullah berbuat.

Masih banyak lagi contoh-contoh yang menunjukkan bahwa yang diperintahkan, dilakukan, dan diserukan oleh Rasulullah Saw, selalu diikuti oleh umatnya, dan apa yang dilarang selalu ditinggalkan oleh umatnya.

4. Sesuai dengan Petunjuk Akal (Ijtihad)
Kerasulan Muhammad saw, telah diakui dan dibenarkan oleh umat Islam. Di dalam mengemban misinya itu kadangkala beliau menyampaikan apa yang datang dari Allah SWT, baik isi maupun formulasinya dan kadangkala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan wahyu dari Tuhan. Namun juga tidak jarang beliau menawarkan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak dibimbing oleh wahyu.

Hasil ijtihad itu berlaku sampai ada nas yang menasakhnya. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kalau hasil ijtihad beliau itu ditempatkan sebagai sumber hukum. Kepercayaan yang telah diberikan kepada beliau sebagai utusan Tuhan mengharuskan umat Islam untuk mentaati semua peraturan yang dibahasnya.

Menurut Abdul Ghoni bin Abdul Kholiq dalam bukunya Hujjiyah al-Sunnah, kehujjahan hadis paling tidak dapat dipahami dari 7 aspek, yaitu :

a. ‘Ishamah (Keterpeliharaan Nabi dari Kesalahan).
Tugas Rasul sebagai penyampai wahyu mengharuskan beliau untuk selalu ekstra hati- hati dalam bertindak

b. Sikap Sahabat terhadap Sunnah.
Sikap para sahabat yang selalu patuh dan tunduk dengan perintah Rasulullah SAW memberikan satu indikasi akan kebenaran apa yang dilakukan dan diucapkan oleh beliau, dan sekaligus dapat dijadikan hujjah.

c. Alquran.
Banyak ayat yang memerintahkan untuk patuh, taat dan mengambil apa yang dilakukan Nabi SAW.

d. Al-Sunnah.
Selain Al-Alquran, terdapat banyak pula hadis yang menjelaskan kehujjahan al-Sunnah

e. Kebutuhan Alqur’an terhadap al-Sunnah.
Alquran tidak akan dapat dipahami secara sempurna tanpa ada bantuan al-Sunnah

f. Realitas-Sunnah sebagai wahyu.
Wahyu yang disampaikan oleh Allah kepada Nabi ada yang berupa wahyu dhohir (yang berstatus terjaga dan terpelihara dari segala bentuk kesalahan)

g. Ijma’.
Kesepakatan untuk mengambil hadis sebagai hujjah dan landasan hukum

Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang dalil kehujjahan hadis. Sumber Modul 2 Konsep Dasar Ulumul Hadis PPG dalam Jabatan Tahun 2019 Kementerian Agama Republik Indonesia JAKARTA 2019. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.