Minggu, 30 Oktober 2016

Pengertian Hukum Taklifi ,Hukum Wadh'i dan Macam-macamnya

A. Hukum Taklifi.
Hukum taklifi adalah berbentuk tuntutan atau pilihan. Hukum taklifi juga adalah firman Allah Swt yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat dan meninggalkan.Dari segi apa yang dituntut, taklifi terbagi dua, yaitu; tuntutan untuk memperbuat dan tuntutan untuk meninggalkan. Sedangkan dari segi bentuk tuntutan, taklifi terbagi dua, yaitu; tuntutan pasti dan tuntutan tidak pasti. Adapun pilihan terletak antara berbuat atau meninggalkan.

Menurut jumhur ulama, hukum taklifi ada lima macam (al ahkamul al- khamsah), yaitu :
Tuntutan untuk memperbuat secara pasti, yaitu harus diperbuat. Hukum taklifi dalam bentuk ini disebut ijab, pengaruhnya terhadap perbuatan disebut wujub, sedangkan perbuatan yang dituntut disebut wajib. Contohnya perintah shalat.

Tuntutan untuk memperbuat secara tidak pasti, yaitu perbuatan itu dituntut untuk dilaksanakan. Tuntutan seperti ini disebut nadb, pengaruhnya terhadap perbuatan disebut nadb pula, sedangkan perbuatan yang dituntut disebut mandub. Umpamamnya memberi sumbangan ke panti asuhan.

Tuntutan untuk meninggalkan secara pasti, yaitu dituntut harus meninggalkannya. Tuntutan dalam bentuk ini disebut tahrim. Pengaruh terhadap perbuatan disebut hurmah, sedangkan perbuatan yang dilarang secara pasti disebut muharram atau haram. Umpamamnya makan harta anak yatim.

Tuntutan untuk meninggalkan atau larangan secara tidak pasti, yaitu masih mungkin untuk tidak meninggalkan larangan itu. Larangan dalam bentuk ini disebut karahah, perbuatan yang dilarang secara tidak pasti disebut makruh. Umpamanya merokok.

Titah Allah Swt yang memberikan kemungkinan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan. Dalam hal ini sebenarnya tidak ada tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan. Hukum dalam bentuk ini disebut ibahah. perbuatan yang diberi pilihan untuk berbuat atau tidak disebut mubah. Umpamanya berburu setelah melakukan tahalul setelah melakukan ibadah haji.

Menurut kalangan Hanafiyah, ada tujuh hukum wadh`i, yaitu :
Fardhu, tuntutan mengerjakan dengan dalil qath`i.
Wajib, tuntutan mengerjakan dengan dalil zhanni.
Nadb
Mubah
Karahah tanzih, sama dengan pengertian karahah versi jumhur ulama.
Karahah tahrim, yaitu larangan atau tuntutan dengan dalil zhanni. Contoh, larangan penipuan dalam jual beli.
Tahrim (haram).

Baca Juga :
1. Pengertian atau Defenisi Wajib, Sunnah, Haram, Makruh dan Mubah
2. Pengertian Ijtihad dan Syarat-syarat Mujtahid

B. Hukum Wadh`i.
Hukum wadh’i adalah firman Allah SWT. yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain. Bila firman Allah menunjukkan atas kaitan sesuatu dengan hukum taklifi, baik bersifat sebagai sebab, syarat, aau penghalang maka ia disebut hukum wadh’i. Di dalam ilmu hukum ia disebut pertimbangan hukum.

Hukum wadh`i juga bisa di sebut berbentuk ketentuan yang ditetapkan pembuat hukum sebagai sesuatu yang berkaitan dengan hukum taklifi atau merupakan akibat dari pelaksanakan hukum taklifi itu. Hukum wadh`i ada enam macam :

1. Sabab (sebab).
Pengertian sabab Secara bahasa (lughawi), sabab berarti sesuatu yang dapat menyampaikan kepada apa yang dimaksud.

Menurut definisi para ahli, sebab adalah sesuatu yang jelas, dapat diukur, yang dijadikan pembuat hukum sebagai tanda adanya hukum; lazim dengan adanya tanda itu ada hukum. Dengan tidak adanya, tidak ada hukum.

Contoh, masuknya bulan Ramadhan menjadi pertanda datangnya kewajiban puasa Ramadhan. Masuknya bulan Ramadhan disebut sabab, sedangkan datangnya kewajiban puasa disebut musabbab atau hukum.

Sabab tidak diketahui secara jelas oleh akal mengenai keserasian hubungan dengan musabbab, dalam hal ini kita serahkan saja kepada kehendak Allah.

Sabab terbagi kepada dua yaitu,

a. Sabab yang berada di luar batas kemampuan mukallaf, yaitu sabab yang dijadikan Allah SWT sebagi pertanda atas adanya hukum. Umpamanya tergelincirnya matahari menjadi sebab masuknya shalat zhuhur.

b. Sabab yang berada di dalam batas kemampuan mukallaf, yaitu sebab dalam bentuk perbuatan mukallaf yang ditetapkan oleh syari` akibat hukumnya. Umpamanya keadaan dalam perjalanan menjadi sebab bolehnya meng- qashar shalat.

2. Syarath (Syarat)
Pengertian Syarat menurut Abu Zahrah mendefinisikan syarath sebagai “sesuatu yang tergantung kepadanya adanya hukum, lazim tidak adanya; tidak ada hukum, tetapi tidaklah lazim dengan adanya; ada hukum.

Contoh syarat umpamanya; wali dalam perkawinan yang menurut jumhur ulama merupakan syarat. Dengan tidak adanya wali, pasti nikahnya tidak akan sah, tetapi dengan adanya wali belum tentu nikah itu sah karena masih ada syarat lain, seperti; saksi, akad, dan lainnya.

Syarat itu ada tiga macam :

a. Syarat `aqli, seperti kehidupan menjadi syarat untuk mengetahui adanya paham menjadi syarat untuk adanya taklif atau beban hukum.

b. Syarat `adi, artinya berdasarkan atas kebiasaan yang berlaku. Seperti bersatunya api dengan barang yang dapat terbakar, menjadi syarat berlangsungnya kebakaran.

c. Syarat syar`i, yaitu syarat berdasarkan penetapan syara`, seperti sucinya badan menjadi syarat untuk shalat.

Syarat dari segi hubungannya dengan masyrut secara hukum terbagi dua, yaitu :

a. Syarat yang kembali pada hukum taklif, baik disuruh melakukannya atau dilarang melakukannya. Contoh; syarat sucinya badan untuk shalat, dilarang adanya suami sementara (muhallil) menjadi syarat bolehnya suami kembali kepada isterinya yang telah ditalak tiga. Syarat ini jelas adanya kesengajaan dari syari`.

b. Syarat yang kembali pada hukum wadh`i, seperti haul menjadi syarat bagi kewajiban zakat. Syarat ini tidak ada kesengajaan bagi syari` untuk menghasilkannya ditinjau dari segi keberadaannya sebagai syarat.

Syarat yang kembali kepada hukum wadh`i itu ada dua :

a. Syarat syar`iyah, yaitu syarat-syarat yang ditetapkan Allah untuk terjadinya sebab atau terjadinya musabbab.

b. Syarat ja`liyah, yaitu syarat-syarat yang diperbolehkan oleh syari`.

Syarat ja`liyah merupakan perbuatan mukallaf yang dibolehkan syari`, terbagi dua :

a. Syarat yang berhubungan dengan adanya akad. Syarat ini merupakan sebagai pelengkap bagi sebab.

b. Syarat yang melengkapi musabbab, yaitu syarat yang beriringan dengan akad sehingga menyebabkan kelazimannya atau mengekalkan kelaziman itu.

3. Mani` (Penghalang)
Mani`, yaitu sesuatu yang dari segi hukum keberadaannya meniadakan tujuan dimaksud dari sebab atau hukum.

Dari definisi ini, ada dua macam mani` apabila dilihat dari segi sasaran uyang dikenai pengaruhnya, yaitu :

a. Mani` yang berpengaruh terhadap sebab. Umpamanya “hutang” menjadi mani` bagi orang yang berhutang meskipun jumlah kekayaannya mencapai nisab.

b. Mani` yang berpengaruh terhadap hukum, dalam arti menolak adanya hukum meskipun ada sebab yang mengakibatkan adanya hukum. Umpamanya ayah menjadi mani` bagi hukum qishas karena membunuh anaknya, sesuai sabda Nabi “tidaklah diqishas seorang ayah karena membunuh anaknya”.

Mani` dalam kaitannya dengan hukum taklifi terbagi menjadi dua macam :

a. Mani` yang tidak mungkin berkumpul bersama dalam tuntutan taklifi, yaitu halangan yang berkaitan dengan hilangnya akal, umpamanya ; pingsan, tidur, gila, dan sebagainya.

b. Mani` yang mungkin berkumpul dengan asal taklif. Mani` ini ada dua macam :

1. Mani` yang dapat bertemu dengan asal taklif, mencabut prinsip taklifi, meskipun taklifi itu pada waktu itu dapat dilaksanakan. Umpamanya haid/nifas hubungannya dengan shalat dan sebagainya.

2. Mani` yang bertemu dengan asal taklif dan tidak mencabut asal taklif itu, tetapi mencabut sifat keharusannya. Jadi tuntutan wajibnya tidak berlaku lagi. Mani` ini ada dua macam :

1) Mani` yang tidak mengangkat asal taklif, tetapi mengalihkannya dari tuntutan pasti kepada kemungkinan adanya pilihan antara melakukan atau tidak. Umpamanya keadaan sakit dalam hubungannya dengan shalat Jum`at.

2) Mani` yang tidak mengangkat asal taklif, tetapi hanya mengangkat sifat keharusannya dan beralih kepada “tidak berdosa dan tidak menyalahi taklif”. Umpamanya semua bentuk rukhsah.


4. Shah (Sah)
Pengertian shah dalam bahasa Indonesia disebut “sah”. Digunakan secara mutlak dengan dua pandangan :

a. Shah, bahwa perbuatan itu mempunyai pengaruh dalam kehidupan dunia, yaitu mempunyai arti secara hukum. Ibadah dikatakan sah, bila telah memadai dan telah melepaskan orang yang melakukannya dari tanggung jawab terhadap Allah dan telah menggugurkan dari kewajiban qadha dalam hal yang dapat diqadha.

b. Shah, bahwa perbuatan itu mempunyai pengaruh arti untuk kehidupan akherat. Misalnya berhaknya atas pahala dari Allah, apabila perbuatan sah dilakukan.

Jadi sah dalam bidang ibadah dan muamalah adalah telah tercapainya tujuan. Yaitu telah sesuai perbuatan yang dilakukan sesuai dengan perintah (terpenuhi syarat dan rukunnya). Dalam muamalah, sah bila diakui pembuat hukum dan menghasilkan pengaruh dan juga terpenuhi syarat dan rukunnya.

5. Bathal (Batal)
Batal adalah kebalikan dari sah. Batal mempunyai dua arti dilihat dari segi dalam bidang apa kata batal itu digunakan, yaitu :

a. Batal digunakan untuk arti “tidak berbekasnya perbuatan bagi si pelaku dalam kehidupan di dunia”. Batal dalam ibadah adalah ibadah itu belum melepaskan tanggung jawab serta belum menggugurkan kewajiban qadha. Karena menyalahi tujuan syari` dalam menetapkan amalan itu.

Muamalah dikatakan batal dalam arti tidak tercapai arti atau faedah yang diharapkan darinya secara hukum, yaitu pengalihan hak dan menghalalkan hubungan.

b. Batal digunakan untuk “tidak berbekasnya perbuatan itu bagi si pelaku di akherat, yaitu tidak menerima pahala”. Kemungkinannya :

1) Perbuatan itu dilakukan tanpa sengaja, seperti perbuatan orang tidur.
2) Perbuatan itu dilakukan semata-mata mencari tujuannya yaitu mencari pahala.
3) Perbuatan itu dilakukan sesuai yang dikehendaki tetapi dalam bentuk keterpaksaan.
4) Perbuatan itu dilakukan sesuai yang dikehendaki dalam bentuk ikhtiyari seperti seseorang melakukan sesuatu perbuatan mubah sesudah itu diketahui itu mubah, hingga kalau sifatnya tidak mubah tentu tidak akan dilakukannya.

6. Fasid.
Fasid juga kebalikan dari sah. Istilah fasid hanya berlaku dikalangan ulama Hanafiyah, itu pun berlaku hanya untuk bidang muamalah.

Dalam bidang muamalah atau akad terdapat kesepakatan dalam penggunaan arti sah, yaitu “suatu akad yang telah memenuhi syarat-syarat yang melengkapi sebab dan tidak terdapat padanya mani` apa pun”. Namun dalam menetapkan hukum tidak sah terdapat perbedaan pendapat.

Menurut jumhur ulama akad yang tidak sah itu sama antara batal dan fasid, baik pada rukun maupun pada syarat atau sifatnya.

Menurut ulama Hanafiyah, bila kekurangan atau kesalahan pada rukun maka disebut batal dan tidak memberi bekas apa-apa; karena tidak terdapat sebab, dengan sendirinya tidak membawa akibat hukum.

Bila kekurangan atau kesalahan terdapat pada salah satu syarat yang berkaitan dengan hukum, maka disebut fasid. Dalam bentuk ini perbuatan dapat berlangsung karena telah menghasilkan sebagian bekasnya dengan telah adanya sebab bagi hukum itu. Tapi tidak sempurna, maka harus disempurnakan kemudian. Dalam nikah umpamanya belum terdapat mahar. Akad nikah dapat berlangsung tetapi sesudah itu suami harus memberikan mahar kepada isterinya.

2 komentar:

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.