Sabtu, 13 Januari 2018

Pengertian Tasawuf Sunni dan Tokoh-tokoh Tasawuf Sunni

Pengertian Tasawuf Sunni.
Tasawuf sunni adalah aliran tasawuf yang ajarannya berusaha memadukan aspek syari’ah dan hakikat namun diberi interpertasi dan metode baru yang belum dikenal pada masa shalat aṣ-ṣāliḥin dan lebih mementingkan cara-cara mendekatkan diri kepada Allah serta bagaimana cara menjauhkan diri dari semua hal yang dapat menggangu kekhusyu’an jalannya ibadah yang mereka lakukan. Aliran tasawuf ini memiliki ciri yang paling utama yaitu kekuatan dan kekhusyukannya beribadah kepada Allah, ẓikrullah serta konsekuen dalam sikap walaupun mereka diserang dengan segala godaan kehidupan duniawi.

Corak tasawuf ini muncul dikarenakan ketegangan-ketegangan dikalangan sufi, baik yang bersifat internal maupun eksternal yaitu para sufi dan ulama baik para fuqaha maupun mutakallimin. Hal itu menyebabkan citra tasawuf menjadi jelek dimata umat, maka sebagian tokoh sufi melakukan usaha-usaha untuk mengembalikan citra tasawuf. Usaha ini memperoleh kesempurnaan ditangan imam al-Ghazali, yang kemudian melahirkan Tasawuf Sunni. Ada pendapat yang mengatakan bahwa asketisme (zuhud) itu adalah cikal bakal timbulnya tasawuf. Sedangkan asketisme itu sendiri sumbernya adalah ajaran Islam, baik yang bersumber dari al-Qur’an, sunnah maupun kehidupan sahabat Nabi.

Tokoh-tokoh Tasawuf Suni.
1. Hasan al-Basri.
Hasan al-Basri adalah seorang sufi angkatan tabi’in, seorang yang sangat takwa, wara’ dan zahid. Nama lengkapnya adalah Abu Sa’id al-Hasan ibn Abi al-Ḥasan. Lahir di Madinah pada tahun 21 H tetapi dibesarkan di Wadi al-Qura.

Setahun sesudah perang Shiffin dia pindah ke Bashrah dan menetap di sana sampai ia meninggal tahun 110 H.

Setelah menjadi warga Bashrah, ia membuka pengajian dikarenakan keprihatinannya melihat gaya hidup dan kehidupan masyarakat yang telah terpengaruh oleh duniawi sebagai salah satu ekses dari kemakmuran ekonomi yang dicapai negeri-negeri Islam pada masa itu.

Garakan itulah yang menyebabkan Hasan Basri menjadi orang yang sangat berperan dalam pertumbuhan kehidupan sufi di Bashrah. Ajaran Pokok Hasan al-Baṣri adalah zuhd, khauf dan raja’. Dasar pendiriannya yang paling utama adalah zuhd terhadap kehidupan duniawi sehingga ia menolak segala kesenangan dan kenikmatan duniawi.

2. Rabi’ah al-Adawiyah.
Nama lengkapnya adalah Rabiah al-adawiyah binti ismail al-Adawiyah al-Baṣariyah, juga digelari Umm al-Khair. Ia lahir di Bashrah tahun 95 H, disebut Rabi’ah karena ia puteri ke empat dari anak-anak Ismail. Diceritakan, bahwa sejak masa kanak-kanaknya dia telah hafal al-Quran dan sangat kuat beribadah serta hidup sederhana.Ajaran pokok yang terpenting dari sufi wanita ini adalah al-mahabbah.

Menurut menurut banyak pendapat, ia merupakan orang pertama yang mengajarkan al-hubb dengan isi dan pengertian yang khas tasawuf.

Hal ini ada kaitannya dengan kodratnya sebagai wanita yang berhati lembut dan penuh kasih, rasa estetika yang dalam berhadapan dengan situasi yang ia hadapi pada masa itu. Cinta murni kepada Tuhan adalah puncak ajarannya dalam tasawuf yang pada umumnya dituangkan melalui syair-syair dan kalimat-kalimat puitis. Dari syair-syair berikut ini dapat diungkap apa yang ia maksud dengan al-mahabbah:

Kasihku, hanya Engkau yang kucinta, 
Pintu hatiku telah tertutup bagi selain-Mu, 
Walau mata jasadku tak mampu melihat Engkau, 
Namun mata hatiku memandang-Mu selalu.

Menurut Rabi’ah, cinta kepada Allah adalah satu-satunya cinta sehingga ia tidak bersedia mambagi cintanya untuk yang lainnya. Seperti kata-katanya “Cintaku kepada Allah telah menutup hatiku untuk mencintai selain Dia”. Bahkan sewaktu ia ditanyai tentang cintanya kepada Rasulullah saw, ia menjawab: “Sebenarnya aku sangat mencintai Rasulullah, namun kecintaanku pada al-Khaliq telah melupakanku untuk mencintai siapa saja selain Dia”. Pernyataan ini dipertegas lagi olehnya lagi melalui syair berikut ini: “Daku tenggelam dalam merenung kekasih jiwa, Sirna segalanya selain Dia, Karena kekasih, sirna rasa benci dan murka”. Bisa dikatakan, dengan al-hubb ia ingin memandang wajah Tuhan yang ia rindu, ingin dibukakan tabir yang memisahkan dirinya dengan Tuhan.

3. Zun Nun Al-Misri.
Nama lengkapnya adalah Abu al-Faidi Tsauban bin Ibrahim Dzu al-Nun alMishri al-Akhimini Qibṭy. Ia dilahirkan di Akhmin daerah Mesir. Sedikit sekali yang dapat diketahui tentang silsilah keturunan dan riwayat pendidikannya karena masih banyak orang yang belum mengungkapkan masalah ini.

Namun demikian telah disebut-sebut oleh orang banyak sebagai seorang sufi yang terkenal dan terkemuka diantara sufi-sufi lainnya pada abad 3 Hijriah.

Sebagai seorang ahli tasawuf, Dzu al-Nun memandang bahwa ulamaulama Hadits dan Fikih memberikan ilmunya kepada masyarakat sebagai salah satu hal yang menarik keduniaan disamping sebagai obor bagi agama. Pandangan hidupnya yang cukup sensitif barangkali yang menyebabkan banyak yang menentangnya. Tidak sampai di situ, bahkan para Fuqaha mengadukannya kepada ulama Mesir yang menuduhnya sebagai orang yang zindiq, sampai pada akhirnya dia sampai memutuskan untuk sementara waktu pergi dari negerinya dan berkelana ke negeri lain.

Jasa-jasa Zun Nun yang paling besar adalah sebagai peletak dasar tentang jenjang perjalanan sufi menuju Allah, yang disebut al-maqomat. Ajarannya memberi petunjuk arah jalan menuju kedekatan dengan Allah sesuai dengan pandangan sufi.

Disamping itu, dia juga pelopor doktrin al-ma'rifah. Dalam hal ini ia membedakan antara pengetahuan dengan keyakinan. Menurutnya, pengetahuan merupakan hasil pengamatan inderawi, yaitu apa yang ia dapat diterima melalui panca indera. Sedangkan keyakinan adalah hasil dari apa yang dipikirkan dan / atau diperoleh melalui intuisi.

Dia membagi tiga kualitas pengetahuan, yaitu:

1). Pengetahuan orang yang beriman tentang Allah pada umumnya, yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui pengakuan atau syahadat.

2). Pengetahuan tentang keesaan Tuhan melalui bukti-bukti dan pendemonstrasian ilmiah dan hal ini merupakan milik orang-orangyang bijak, pintar dan terpelajar.

3). Pengetahuan tentang sifat-sifat Yang Maha Esa, dan ini merupakan milik orang-orang yang sholeh (wali Allah) yang dapat mengenal wajah Allah dengan mata hatinya.

4. Imam Al-Ghazali.
Menurut Abu al-Wafa’ al-Ganimi al-Taftazani, ada dua corak tasawuf yang berkembang di kalangan sufi, yaitu pertama, corak tasawuf sunni, di mana para pengikutnya memagari tasawuf mereka dengan al-Quran dan asSunnahserta mengaitkan keadaan dan tingkatan rohaniah mereka dengan keduanya.

Kedua, corak tasawuf semi-filosofis, di mana para pengikutnya cenderung pada ungkapan-ungkapan ganjil serta bertolak dari keadaan fana menuju pernyataan tentang terhadinya penyatuan ataupun hulul.

Di tangan al-Ghazali lah tasawuf sunni mencapai kematangannya. Abdul Qadir Mahmud berpendapat bahwa para pemimpin sunni pertama telah menunjukkan ketegaran mereka menghadapi gelombang pengaruh gnostik barat dan timur, dengan berpegang teguh pada spirit Islam, yang tidak mengingkari sufisme yang tumbuh dari tuntunan Alquran, yang membawa syariat, juga yang menyuguhkan masalah-masalah metafisika.

Mereka mampu merumuskan sufisme yang islami dan mampu bertahan terhadap pelbagai fitnah yang merongrong akidah Islam di kalangan sufisme. Sufisme sunni akhirnya beruntung mendapatkan seorang tokoh pembenteng dan pengawal bagi spirit metode Islami yaitu al-Ghazali, yang menempatkan syariat dan hakikat secara seimbang. Di tangan al-Ghazali tasawuf menjadi halal bagi kaum syariat, sesudah kaum ulama memandangnya sebagai hal yang menyeleweng dari Islam.

Konsepsi al-Ghazali yang mengkompromikan antara pengalaman sufisme dengan syariat telah dijelaskan di dalam kitabnya yang terkenal yaitu Ihya Ulumuddin. Karya besar ini terdiri dari 4 jilid.

Jilid pertama dan kedua berisi ajaran syariat dan akidah disertai dasar-dasar ayat-ayat suci Alquran serta hadis dan penafsirannya. Dibahas pula bagaimana tingkat-tingkat pengamalan syariat yang sempurna lahir batin.Pada jilid ketiga dan keempat, khusus membahas tasawuf dan tuntunan budi luhur bagi kesempurnaan sebuah pengamalan syariat.

Kemudian dilanjutkan ajaran jihad akbar untuk memerangi dan menguasai nafsu amarah dan lawwāmah, yakni ajaran tentang penyucian hati yang dalam ajaran tasawuf diartikan memutuskan setiap persangkutan dengan dunia, dan mengisi dengan sepenuh hati hanya bagi Tuhan semata. Kemudian dilanjutkan tentang cara mengkonsentrasikan seluruh kesadaran untuk berzikir kepada Allah. Hasil dari zikir adalah fana dan ma’rifat kepada Allah.

5. Abu Yazid al-Bustami.
Abu Yazid al-Bustami lahir di Bustam, bagian timur laut Persia tahun: 188 H – 261 H/874 – 947 M. Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin Isa bin Adam bin Surusyan. Semasa kecilnya ia dipanggil Thaifur, kakeknya bernama Surusyan yang menganut ajaran Zoroaster yang telah memelukIslam dan ayahnya salah seorang tokoh masyarakat di Bustam.

Sewaktu menginjak usia remaja, Abu Yazid terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti perintah agama dan berbakti kepada orang tuanya, suatu kali gurunya menerangkan suatu ayat dari surat Luqman yang berbunyi : “Berterima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu” ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang untuk menemuia Ibunya, sikapnya ini menggambarkan bahwa ia selalu berusaha memenuhi setiap panggilan Allah.

Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memakan waktu puluhan tahun, sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu telah menjadi seorang fakih dari madzhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali as-Sindi, ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid. Hanya saja ajaran sufi Abu Yazid tidak ditemukan dalam bentuk buku.

Dalam perjalanan kehidupan Zuhud, selama 13 tahun, Abu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, hanya dengan tidur, makan, dan minum yang sedikit sekali.

Abu Yazid adalah orang yang pertama yang mempopulerkan sebutan alFana dan al-Baqa` dalam tasawuf. Ia adalah syaikh yang paling tinggi maqam dan kemuliannya, ia sangat istimewa di kalangan kaum sufi. Ia diakui salah satu sufi terbesar. Karena ia menggabungkan penolakan kesenangan dunia yang ketat dan kepatuhan pada iter agama dengan gaya intelektual yang luar biasa.

Abu Yazid pernah berkata: “Kalau kamu lihat seseorang sanggup melakukan pekerjaan keramat yang besar-besar, walaupun ia sanggup terbang ke udara, maka janganlah kamu tertipu sebelum kamu lihat bagaimana ia mengikuti suruhan dan menghentikan dan menjaga batas-batas syari`at."

Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah Fana` dan Baqa`. Secara harfiah fana` berarti meninggal dan musnah, dalam kaitan dengan sufi, maka sebutan tersebut biasanya digunakan dengan proposisi: fana`an yang artinya kosong dari segala sesuatu, melupakan atau tidak menyadari sesuatu. Sedangkan dari segi bahasa kata fana` berasal dari kata bahasa Arab yakni faniya-yafna yang berarti musnah, lenyap, hilang atau hancur. Dalam istilah tasawuf, fana adakalanya diartikan sebagai keadaaan moral yang luhur.

6. Al-Hallaj.
1. Sejarah Al-Hallaj.
Al-Hallaj ini memiliki nama lengkap Husein bin Mansur al-Hallaj. Lahir pada tahun 244 H atau 858 M di salah satu kota kecil Persia, yakni kota Baidha. Masa kecilnya ia habiskan di kota Wasiṭ dekat dengan Bagdadsampai usia 16 tahun. Diusia 16 ini ia mulai meninggalkan kota Wasith untuk menuntut ilmu kepada seorang Sufi besar dan terkenal, yakni Sahl bin Abdullah al-Tustur di negri Ahwaz.

Dalam perjalanan hidupnya yang dihiasi buah hasil pemikiranpemikirannya di bidang tasawuf, ia sering keluar masuk penjaran akibat konflik dengan ulama fikih, konflik tersebut dipicu oleh pikiran-pikiran alHallaj yang dianggap ganjil. Ulama fikih yang sangat besar pengaruhnya karena fatwanya untuk memberantas dan membantah ajaran-ajaran alHallaj. sehingga ia ditangkap dan dipenjara adalah Ibn Daud al-Isfahani. Tetapi setelah satu tahun dalam pejara, ia dapat meloloskan diri atas bantuan seorang sipir penjara.

2. Ajaran al-Hallaj.
Pokok dari ajaran al-ḥulul adalah pertama, diri manusia tidak hancur, kedua ada dua wujud, tetapi bersatu dalam satu tubuh.

Helbert W. Mason berpendapat al-hulul adalah penyatuan sifat ketuhanan dengan sifat kemanusiaan. Akan tetapi, dalam kesimpulannya, konsep hulul al-Hallaj bersifat majazi, tidak dalam pengertian yang sebanarnya. Menurutt Nashiruddin at-Thusiy, al-hulul adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada di dalam tubuh itu dilenyapkan.

Sesungguhnya Allah SWT, memilih jasad-jasad (tertentu) dan menempatkannya dengan makna ketuhanan setelah menghilangkan sifat sifat kemanusiaan. Menurut filsafat al-Hallaj, Allah SWT., mempunyai dua alam atau sifat dasar, yaitu al-lahut (ketuhanan) dan an-nasut (kemanusiaan). Demikian pula manusia, disamping memiliki sifat kemanusiaan, ia juga mempunyai sifat ketuhanan dalam dirinya.

Selanjutnya, dalam menguraikan kesatuan al-lahut dan an-nasut atau antara roh ilahiyah dan roh insaniyah, al-Hallaj menggunakan istilah alhulul dalam pengertian Islam.

7. Muhy al-Din Ibn `Araby.

1. Riwayat Hidup.

Ibn ‘Arabi, nama lengkapnya adalah Muhyi al-din Abu ‘Abd Allah Muhammad bin ‘Ali Bin Muhammad bin Ahmad bin ‘Abd Allah al-Hatmi at-Ta’i. Ia adalah seorang pemikir sufi yang sangat terkenal dalam dunia Islam. Ia juga merupakan seorang pemikir yang selalu menampilkan gagasan keagamaan yang tidak lazim, selama hidupnya tak jarang Ibn ‘Arabi mendapat kecaman dan perlawanan dari berbagai kalangan, terutama kelompok ahli fikih yang terkenal literalis dan formalis, di antaranya adalah Ibn Taymiyyah dan Ibn al-Qayyim al-Jawzi.

Ia dilahirkan di Murcia Andalusia, Spanyol bagian tenggara, 17 Ramadan 560 H / 28 Juli 1165 M, pada masa pemerintahan Muhammad ibn Sa’id ibn Mardanisy.

Ada pula yang mengatakan lahir pada tanggal 28 Rabi’ul Awwal 638 / 16 November 1240 M. Menurut Afifi, Ibn ‘Arabi berasal dari keluarga keturunan Arab yang saleh, dimana sang ayah dan ketiga pamannya dari jalur sang ibu adalah tokoh sufi yang terkenal, dan ia sendiri digelari Muhy ad-Din (penghidup agama)dan al-Syaikh al-Akbar (Doktor Maximus), karena gagasan-gagasannya yang besar terutama dalam mistik. Belum ada seorang tokoh muslim yang mencapai posisi sebagaimana kedudukannya. Ibn ‘Arabi wafat di Damaskus dan di makamkan disana, pada tanggal 22 Rabi al-Tsani 638 H/Nopember 1240 M, dalam usia 78 tahun.

2. Ajaran Ibnu Arabi.
Ajaran sentral Ibn Arabi adalah tentang wahdat al-wujud (kesatuan wujud). Meskipun demikian, istilah wahdat Al-wujud yang dipakai untuk menyebut ajaran sentralnya itu tidaklah berasal dari dia, tetapi berasal dari Ibnu Taimiah, tokoh yang paling keras dan mengecam dan mengkritik ajaran sentralnya tersebut.

Adapun menurut Ibn Arabi, wujud semua yang ada ini hanyalah satu dan pada hakikatnya wujud makhluk adalah wujud khaliq pula. Tidak ada perbedan antara keduanya (khalik dan makhluk) dari segi hakikatnya. Menurutnya, wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah, dan Allah adalah hakikat alam. Perbedaannya hanya pada bentuk dan ragam dari hakikat yang satu.

Dari konsep wahdat al-wujud Ibn Arabi ini, muncul dua konsep yang sekaligus merupakan lanjutan dan cabang dari konsep wahdat Al-wujud tersebut, yaitu konsep al-hakikat al-Muhammadiyyah dan konsep wahdat Al-Adyan (kesamaan agama).Menurut Ibn Arabi Tuhan adalah pencipta alam semesta. Adapun prosesnya adalah sebagai berikut :

1. Tajalli Dzat Tuhan dalam bentuk a’yan tsabitah.
2. Tanazul zat Tuhan dari alam ma’ani ke alam ta’ayyunat (realitasrealitas rohaniah), yaitu alam arwah yang mujarrad.
3. Tanazul kepada realitas-realitas nafsiah, yaitu alam nafsiah berpikir.
4. Tanazul Tuhan dalam bentuk ide materi yang bukan materi, yaitu alam mitsal (ide) atau khayal.Alam materi, yaitu alam inderawi.

Selain itu, Ibn Arabi menjelaskan bahwa terjadinya alam ini tidak bisa dipisahkan dari ajaran Hakikat Muhamadiyyah atau Nur Muhammad. Menurutnya, tahapan-tahapan kejadian proses penciptaan alam dan hubungan dengan kedua ajaran itu dapat dijelaskan sebagai berikut :Wujud Tuhan sebagai wujud mutlak, yaitu zat yang mandiri dan tidak berhajat pada apapun.

Wujud al-haqiqahal-Muhammadiyah sebagai emanasi (pelimpahan) pertama dari wujud Tuhan kemudian muncullah wujud dengan proses tahapan-tahapannya sebagaimana dikemukakan di atas.Dengan demikian, Ibn Arabi menolak ajaran yang mengatakan bahwa alam semesta ini diciptakan dari tiada (cretio ex nihilio).

Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang pengertian tasawuf sunni dan tokoh-tokoh tasawuf sunni. Sumber Buku Akhlak Kelas XI MA Kementerian Agama Republik Indonesia, 2015. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.